JAKARTA, KOMPAS.com - Pimpinan KPK membantah anggapan bahwa pihaknya kerap melakukan operasi tangkap tangan (OTT) yang nilai suapnya relatif kecil.
Wakil Ketua DPD Laode Muhammad Syarif merasa terganggu jika KPK disebut melakukan OTT "receh".
Ia menjelaskan, berdasarkan pengalaman KPK, tidak pernah penyerahan uang saat OTT, merupakan penyerahan pertama.
Laode memberi contoh OTT dengan nilai uang Rp 100 juta atau Rp 40 juta.
"Selalu ada yang mendahului," ucap Laode saat rapat kerja di Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (12/9/2017).
(baca: Pendidikan Penyidik KPK Dipertanyakan, Agus Rahardjo Sindir Komisi III)
Seperti OTT di Pengadilan Negeri Bengkulu dengan nilai uang yang disita Rp 40 juta.
Dalam penyidikan, kata Laode, ditemukan fakta bahwa sudah ada angggaran pengamanan.
“Untuk kasus Bengkulu saja, itu ternyata sudah dalam dokumen anggaran pengadaan itu sudah ditulis 10 persen,” tuturnya.
Lebih rinci, anggaran pengamanan tersebut tertulis untuk pengamanan internal dan eksternal.
KPK bertanya siapa yang dimaksud pihak internal dan eksternal tersebut. Kemudian, diketahui bahwa pengamanan internal diperuntukkan bagi pihak pemerintah daerah dan eksternal diperuntukkan bagi aparat penegak hukum.
“Jadi mungkin kelihatannya cuma Rp 40 juta dan sudah penyerahan keberapa. Tapi alhamdulillah kami sebenarnya menyelamatkan 10 persen anggaran,” kata Laode.
(baca: Curhat Politisi Demokrat, Batal Jadi Gubernur Setelah Dipanggil KPK)
Pada kasus tersebut KPK menetapkan tiga orang tersangka, yakni hakim anggota Pengadilan Negeri Tipikor Bengkulu Dewi Suryana, panitera pengganti di PN Tipikor Bengkulu Hendra Kurniawan, dan seorang PNS bernama Syuhadatul Islamy.
Ketiganya ditangkap KPK atas dugaan suap terkait dengan penanganan perkara nomor 16/Pid.Sus-TPK/2017 PN Bgl, dengan terdakwa Wilson.