Berdasarkan verifikasi Kompas.com sejauh ini, informasi ini tidak benar.
JAKARTA, KOMPAS.com - Praktisi Hukum Andi Syafrani mengatakan, persoalan terkait penyebaran hoaks dan ujaran kebencian berlandaskan suku, agama, ras dan antargolongan mirip dengan masalah peredaran narkotika.
Menurut dia, ada pelaku dan juga pelanggan dalam bisnis tersebut. Padahal, ada aturan yang melarang kegiatan ini.
"Sama saja dengan orang yang bertransaksi narkoba. Sudah jelas jelas dilarang karena merusak, tapi tetap masih banyak supply and demand (penawaran dan permintaan), terus seperti itu," kata Andi dalam diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu (26/8/2017).
Menurut Andi, kedua pihak dalam bisnis ini sama-sama memiliki kepentingan. Pihak pemesan memiliki kepentingan guna mewujudkan keinginannya.
Pemesan itu akan merasa puas jika masyarakat terpengaruh dengan isu yang dibuat. Bahkan, tak memedulikan adanya kerugian pihak lain.
(Baca juga: Polisi Incar Pelaku yang Gunakan Jasa Saracen untuk Sebar Konten SARA)
Begitu pula dengan pihak penyebar berita. Ia mendapat royalti dari tindakannya tersebut.
Menurut Andi aparat penegak hukum harus mengungkap tuntas berbagai aspek, termasuk aspek bisnis, pada persoalan tersebut. Selain itu, pemerintah harus memindak tegas para pelaku yang terlibat.
"Ini yang harus dipotong sehingga jangan sampai ada kesan ada keuntungan ekonomi yang menggiurkan, sehingga orang-orang mau bertransaksi," ucap Andi.
"Sama seperti narkoba kenapa terus berjalan karena keuntungan ekonominya luar biasa," kata dia.
Sementara itu, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengaku pernah ditawari untuk menggunakan jasa penyebar hoaks dan ujaran kebencian. Namun, dia menolak.
Ia pun meminta penegakan hukum berlaku bagi para pihak yang ikut kelompok tersebut, tak terkecuali kalangan politisi.
(Baca: Polisi Juga Diminta Tindak Politisi yang Sewa "Buzzer" Penyebar Hoaks)