Beliau dianggap memiliki kontribusi penting dalam kemenangan Anies-Sandi menumbangkan petahana di Pilkada DKI Jakarta 2017.
Sosok beliau kembali banyak diperbincangkan masyarakat, terutama yang mengalami kekecewaan dengan pemerintahan saat ini. Masyarakat pun sering kali menanti respons beliau atas kebijakan pemerintah yang dianggap kontroversial ataupun kurang berpihak pada rakyat.
Suara-suara masyarakat yang menginginkan Prabowo untuk kembali maju sebagai calon presiden di tahun 2019 pun semakin sering terdengar.
Bicara mengenai Susilo Bambang Yudhoyono, tentunya tidak lepas dari prestasi beliau yang berhasil terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia selama dua periode, 2004-2009 dan 2009-2014.
Kepemimpinan SBY selama sepuluh tahun, terbilang sukses. Kondisi dalam negeri relatif aman dan kondusif.
Kegaduhan politik, sangatlah jarang, dan jika pun ada, bisa segera reda. Pengakuan dari luar negeri atas prestasi SBY pun relatif banyak berdatangan.
Beliau juga sukses membangun Partai Demokrat. Partai yang ikut didirikannya pada 9 September 2001, langsung mencuri perhatian publik di pemilihan umum yang mereka ikuti pertama kali. Pada Pemilu 2004, Partai Demokrat meraih 7,45 persen suara, dan berada di posisi kelima partai politik peraih suara terbanyak.
Di pemilu 2009, Partai Demokrat menjadi pemenang pemilu, dan meraih 20,4 persen suara.
Prestasi Partai Demokrat menurun drastis di 2014, namun masih duduk di empat besar, dengan perolehan suara sebesar 10,19 persen.
Dua isu utama penyebab penurunan suara Partai Demokrat adalah korupsi yang membelit pengurus terasnya sejak 2013, dan SBY yang masih menjadi figur sentral dan daya tarik utama di partai tersebut, sesuai dengan amanat konstitusi, tidak memungkinkan untuk dicalonkan kembali sebagai presiden setelah menjabat selama dua periode.
Selesai menjabat Presiden, bukan berarti karir politik beliau selesai. Pandangan-pandangan dan langkah-langkah politiknya atas isu-isu nasional, masih menjadi rujukan bagi sebagian masyarakat.
Gerak-gerik Partai Demokrat yang dipimpinnya, tetap ditunggu-tunggu dan kadang menjadi penentu di antara pertarungan partai-partai penguasa alias poros pendukung Presiden Joko Widodo dan partai-partai politik yang tidak duduk di pemerintahan yang dimotori Prabowo.
Keberadaan Poros Cikeas saat Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu dan memunculkan Agus H Yudhoyono selaku calon gubernur, diakui sebagian pihak, sebagai langkah politik yang brilian dan pertanda masih berpengaruhnya sosok beliau di percaturan politik nasional.
Kemunculan Agus H. Yudhoyono sendiri di pentas politik, membuat SBY dan Partai Demokrat memiliki nilai tambahan di masyarakat.
Figur pemimpin muda penuh potensi, cerdas, tidak terbebani rekam jejak politik masa lalu, memberikan harapan baru, baik bagi masyarakat Indonesia yang menginginkan perubahan maupun bagi internal Partai Demokrat.
Kini, Indonesia pun bukan hanya menyoroti langkah-langkah politik SBY selaku pemimpin poros Cikeas, melainkan juga pergerakan Agus H Yudhoyono sebagai calon penerusnya.
Dengan berjuang masing-masing saja, Prabowo dan SBY sudah menjadi kekuatan politk yang benar-benar harus diperhitungkan oleh Presiden saat ini, Joko Widodo, dan partai-partai politik pendukungnya.
Tentunya jika mereka bersatu, Presiden Joko Widodo mesti mengkalkulasi ulang strateginya menuju 2019.
Tiga isu strategis
Pertemuan Prabowo dan SBY ini menjadi semakin menarik karena perkembangan situasi politik nasional yang cenderung menghangat.
Pembahasan RUU Pemilu 2019 yang berujung aksi walk out dari rapat paripurna oleh empat partai, keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan atau lebih dikenal dengan Perppu Ormas, dan pansus hak angket KPK, merupakan tiga isu nasional terkini yang memicu pro dan kontra di masyarakat maupun di kalangan elit politik.
Pengesahan RUU Pemilu 2019 di rapat paripurna DPR RI pada tanggal 21 Juli 2017 lalu, diwarnai aksi meninggalkan ruang sidang oleh empat partai, yaitu Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional.
Alasan utama keempat partai tersebut meninggalkan ruang sidang adalah penetapan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen kursi DPR RI berdasarkan pemilihan umum 2014.
Menurut keempat partai tersebut, penetapan ambang batas tersebut melanggar amanat Konstitusi mengingat pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif pada tahun 2019 dilaksanakan secara serentak.
Apalagi dengan berpegangan pada hasil pemilihan umum 2014 sebagai dasarnya. Kelanjutan dari pengesahan RUU Pemilu 2019 tanpa kehadiran empat partai politik di atas, tentu saja menarik untuk ditunggu.