Dalam kasus 24 gereja di Aceh Singkil, pelarangan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil atas desakan sebagian masyarakat yang menolak keberadaan gereja.
Kemudian pada tahun 2016, Komnas HAM menemukan adanya aturan baru di Provinsi Aceh berupa Qanun No.4 tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.
Dalam aturan ini terdapat beberapa ketentuan tambahan dalam prosedur pendirian rumah ibadah yang tidak diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 tahun 2006 tentang Tata Cara Pendirian Rumah Ibadah.
Aturan tambahan tersebut antara lain, pertama, rekomendasi tertulis Camat.
Kedua, rekomendasi tertulis dari Keuchik (Lurah) setelah bermusyawarah dengan tuha peut. Ketiga, daftar nama pengguna tempat ibadah sebanyak 140 orang.
(Baca: Pelanggaran Kebebasan Beragama Turun pada Triwulan Pertama 2017)
Keempat, dukungan dari masyarakat setempat minimal 110 orang. Kelima, rekomendasi tertulis dari Imuem Mukim, dan keenam, susunan panitia pembangunan dikeluarkan oleh pejabat berwenang.
Selain itu, Qanun ini juga menyatakan bahwa semua ketentuan tentang persyaratan pendirian tempat ibadah tidak berlaku untuk pendirian tempat ibadah umat Islam.
Pelanggaran atas hak beragama dan berkeyakinan paling parah dialami Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Komnas HAM mencatat setidaknya telah terjadi pelanggaran hak asasi warga JAI di 12 daerah.
Sebagian besar pelanggaran tersebut dilegitimasi oleh peraturan daerah, seperti Peraturan Gubernur No. 12 tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan JAI di Jawa Barat dan Peraturan Wali Kota Banjar No. 10 tahun 2011 tentang Penanganan JAI di Kota Banjar.
Pada 22 Maret 2016, Komnas HAM menerima pengaduan dari warga JAI di Subang tentang pelarangan ibadah.
Menurut pengadu, Lurah Sukamelang dan Camat Subang telah menerbitkan kebijakan yang melarang aktivitas JAI serta memerintahkan penghentian pembangunan masjid JAI.
(Baca: Komnas HAM: Pemkot Depok Tak Gubris Teguran Terkait Penyegelan Masjid Ahmadiyah)
Pemkab Kuningan juga pernah menerbitkan kebijakan yang membatasi aktivitas warga JAI, mendiskriminasi pelayanan KTP dan perkawinan di KUA yang mensyaratkan adanya surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah.