JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Imdadun Rahmat berpendapat, kondisi pemenuhan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia saat ini masih buruk.
Menurut Imdadun, buruknya kondisi KBB akan menyulitkan posisi pemerintah dalam pelaporan Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB pada 3-5 Mei 2017 mendatang di Jenewa.
"Buruknya kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan akan menyulitkan pelaporan kondisi penegakan HAM pada sidang UPR nanti," ujar Imdadun, saat memberikan keterangan di ruang pengaduan Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (25/4/2017).
Imdadun mengatakan, kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak banyak mengalami kemajuan sejak siklus kedua UPR pada 2012.
Belum ada perbaikan yang signifikan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan sejak rekomendasi pada UPR siklus kedua 2012 diterima Pemerintah Indonesia.
"Indonesia belum lulus, belum ada perbaikan yang signifikan terkait rekomendasi UPR sebelumnya," ujar dia.
(Baca: Perda Diskriminatif Dinilai Menjadi Penyebab Intoleransi Struktural)
Berdasarkan catatan Komnas HAM, masih terdapat sembilan kasus KBB yang belum memperoleh penyelesaian hukum.
Kesembilan kasus tersebut terjadi dalam kurun waktu 2008 hingga 2016.
Komnas HAM mengindikasikan kasus pelanggaran KBB berlangsung bertahun-tahun dan cenderung mengalami pembiaran oleh negara.
Kesembilan kasus tersebut adalah kasus pelarangan pendirian masjid As-Syuhada di Kota Bitung, kasus Masjid Al-Khairiyah di eks Kampung Teksas kota Manado, kasus 24 gereja di Aceh Singkil, kasus mushala As-Syafiiyah di kota Denpasar dan kasus GKI Yasmin di Bogor.
Selain itu, ada kasus pelarangan gereja HKBP Filadelfia di Kabupaten Bekasi, kasus pengungsi Syiah di Sampang, kasus Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dan kasus diskriminasi Jemaat Ahmadiyah di sejumlah wilayah.
(Baca: Soal Isu Kebebasan Beragama, Posisi Indonesia Sulit di Dewan HAM PBB)
Menurut Imdadun, sebagian besar kasus pelanggaran KBB disebabkan oleh peraturan daerah yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas dan tidak sesuai dengan peraturan di tingkat pusat.
"Masih banyak peraturan di daerah yang diskriminatif terhadap kelompok agama minoritas. Selain itu Perda-Perda itu juga tidak in-line dengan peraturan di atasnya. Itu sudah jelas terkonfirmasi," tutur dia.
Dalam kasus 24 gereja di Aceh Singkil, pelarangan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil atas desakan sebagian masyarakat yang menolak keberadaan gereja.
Kemudian pada tahun 2016, Komnas HAM menemukan adanya aturan baru di Provinsi Aceh berupa Qanun No.4 tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah.
Dalam aturan ini terdapat beberapa ketentuan tambahan dalam prosedur pendirian rumah ibadah yang tidak diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 8 dan 9 tahun 2006 tentang Tata Cara Pendirian Rumah Ibadah.
Aturan tambahan tersebut antara lain, pertama, rekomendasi tertulis Camat.
Kedua, rekomendasi tertulis dari Keuchik (Lurah) setelah bermusyawarah dengan tuha peut. Ketiga, daftar nama pengguna tempat ibadah sebanyak 140 orang.
(Baca: Pelanggaran Kebebasan Beragama Turun pada Triwulan Pertama 2017)
Keempat, dukungan dari masyarakat setempat minimal 110 orang. Kelima, rekomendasi tertulis dari Imuem Mukim, dan keenam, susunan panitia pembangunan dikeluarkan oleh pejabat berwenang.
Selain itu, Qanun ini juga menyatakan bahwa semua ketentuan tentang persyaratan pendirian tempat ibadah tidak berlaku untuk pendirian tempat ibadah umat Islam.
Pelanggaran atas hak beragama dan berkeyakinan paling parah dialami Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Komnas HAM mencatat setidaknya telah terjadi pelanggaran hak asasi warga JAI di 12 daerah.
Sebagian besar pelanggaran tersebut dilegitimasi oleh peraturan daerah, seperti Peraturan Gubernur No. 12 tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan JAI di Jawa Barat dan Peraturan Wali Kota Banjar No. 10 tahun 2011 tentang Penanganan JAI di Kota Banjar.
Pada 22 Maret 2016, Komnas HAM menerima pengaduan dari warga JAI di Subang tentang pelarangan ibadah.
Menurut pengadu, Lurah Sukamelang dan Camat Subang telah menerbitkan kebijakan yang melarang aktivitas JAI serta memerintahkan penghentian pembangunan masjid JAI.
(Baca: Komnas HAM: Pemkot Depok Tak Gubris Teguran Terkait Penyegelan Masjid Ahmadiyah)
Pemkab Kuningan juga pernah menerbitkan kebijakan yang membatasi aktivitas warga JAI, mendiskriminasi pelayanan KTP dan perkawinan di KUA yang mensyaratkan adanya surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah.
Peraturan yang sama juga pernah diterbitkan di Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur, Kota Bandung dan Kota Depok.
"Warga JAI merupakan kelompok yang belum mendapat penanganan signifikan terkait pemenuhan hak atas kebebasan beragama. Hanya sedikit progress yang mereka nikmati," ujar Imdadun.
Dengan melihat fakta tersebut, Komnas HAM mendesak Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan komunikasi yang intensif dengan pemerintah daerah.
Komnas HAM berharap pemerintah daerah menggunakan parameter perlindungan hak beragama dalam pembuatan kebijakan.
Minimnya penggunaan parameter ini, kata Imdadun, telah mengakibatkan berlakunya berbagai kebijakan daerah yang diskriminatif.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.