Jadi sebenarnya makna dari usaha pendidikan perempuan yang dikembangkan Kartini tak hanya berdasarkan pembangkitan kebiasaan membaca, menulis, dan belajar secara teratur.
Makna itu jadi lebih besar dan menentukan bagi jalannya kehidupan kaum perempuan meningkatkan kemampuannya mengambil keputusan dan melalui kemampuan itu meningkatkan derajat kebebasannya.
Kebebasan dalam arti mampu mengambil sendiri keputusan yang harus diambilnya, dan tak diambilkan orang lain di luar dirinya—apakah itu ”orangtua”, ”paman”, ”abang”, ”suami” atau ”siapa saja”—hanya dengan dalih bahwa dia ”perempuan” karenanya tergolong ”kaum lemah” yang, per definisi, ”harus dilindungi”, dengan sendirinya ”perlu perlindungan” tanpa ditanya atau diminta.
Dengan begini menjadi jelas betapa besar makna dan peranan pendidikan bagi kaum perempuan yang dipelopori dan dikembangkan Kartini di zamannya. Tidak hanya bagi ”kebebasan perempuan”, tetapi bagi ”manusia Indonesia” itu sendiri.
Pertama, karena pengertian kebebasan riil hanya berhubungan dengan makhluk manusia, bukan dengan makhluk binatang berhubung yang harus mengambil keputusan secara sadar adalah manusia dan bukannya hewan.
Kedua, karena manusia, termasuk perempuan, dapat memperbesar kebebasannya hanya melalui kesanggupannya memasukkan ”pertimbangan rasional dan penalaran” ke dalam setiap keputusan yang akan diambilnya di dalam sesuatu situasi tertentu.
Melalui pertumbuhan kebebasan ini, manusia—termasuk perempuan—bergerak ke arah menyempurnakan dirinya.
Ketiga, penalaran dan melalui penalaran ini, rangkaian keputusan yang diambil oleh seorang ibu menentukan sekali bagi pembinaan karakter dan mentalitas anak-anaknya sendiri.
Bukankah kinerja di dalam diri seseorang bergantung pada rangkaian tantangan dan dorongan, dalam bentuk tuntutan pencapaian usaha serta kepercayaan pada diri sendiri, yang diputuskan dan dihadapkan pada dirinya oleh orangtuanya, terutama oleh ibunya.
Keempat, masyarakat berkepentingan tidak hanya memiliki warga yang bersedia mengabdi, juga warga yang punya kesanggupan mengabdi, melalui kemampuan untuk mengambil keputusan, terutama keputusan yang membantu perkembangan karakter dan penalaran anak- anak yang diharapkan kelak dapat menjamin kesinambungan hidup masyarakat bersangkutan.
Hidup yang singkat
Perasaan Kartini tentang kesengsaraan hidup dan nasib kaum perempuan di zamannya dan pikiran serta cita-citanya untuk memperbaiki hal itu melalui pendidikan diungkapkannya dalam surat kepada teman-temannya di Belanda.
Kepada Stella Zeenhandelaar, misalnya, dia bahkan menyatakan harapan Indonesia akan merdeka suatu ketika kelak. Dia juga menulis tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh suatu pemerintah kolonial, serta membicarakan hal-hal yang menyakiti hati bangsa Indonesia.
Hidup Kartini sangat singkat. Lahir 21 April 1879 sebagai anak bupati Jepara dan kawin— lebih tepat ”dikawinkan”—dengan bupati juga, bupati Rembang.
Dapat dibayangkan betapa sakit hatinya ketika kemudian suaminya mengambil ”selir” tiga orang dan hidup bersama di bawah satu atap meski dia tetap istri ”padmi”, istri utama.