Justru poligami ini yang selamanya ditentang Kartini. Untung dia masih sempat mewujudkan cita-citanya, kegiatan mendidik anak-anak rakyat, termasuk anak perempuan di rumahnya. Dia meninggal di usia sangat muda, 25 tahun, sesudah melahirkan anak pertama.
Tujuh tahun sesudah Kartini meninggal, pada 1911, seorang pejabat Belanda yang mengenalnya dan keluarga bupati Jepara dari dekat, Mr JR Abendanon, berhasil mengumpulkan 106 dari surat-surat Kartini yang ditulis dalam bahasa Belanda.
Surat-surat itu diterbitkan berupa buku berjudul Door Duisternistot Licht. Buku ini mendapat sambutan positif yang luas di kalangan para intelektual Barat, bukan hanya Belanda, melainkan juga Inggris, Perancis, dan Amerika.
Berbagai ulasan dengan judul yang berbeda diterbitkan di Belanda, Inggris, Perancis, dan Amerika.
Di Indonesia sendiri, edisi berbahasa Indonesia, lebih tepat untuk saat itu bahasa Melayu, terbit tak lebih awal daripada 1922, dalam seri ”Volkslectuur”,berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Judul ini tetap dipertahankan pujangga Armijn Pane dalam terjemahan yang terbit ulang pada 1938.
Komponis Wage Rudolf Supratman, pencipta himne ”Indonesia Raya” dan kemudian memperdengarkannya dengan biola yang digeseknya sendiri, di sidang penutup Kongres Pemuda Indonesia di Batavia pada tanggal 28 Oktober 1928, telah menggubah pula satu lagu guna memperingati jasa-jasa RA Kartini, berjudul ”Ibu Kita Kartini”.
Dengan Keputusan Presiden RI No 108, tanggal 2 Mei 1964, RA Kartini ditetapkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Daoed JOESOEF
Alumnus Universitas Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne