Kelola emosi
Dalam konteks yang lebih luas, bisa dikatakan orang yang mampu mengelola perasaan (emosi) adalah orang arif, bijak, dan pandai mengendalikan emosi dan mengungkapkannya dalam berbagai situasi.
Di sini bisa kita katakan, perasaan atau emosi sebenarnya bukanlah sesuatu yang buruk jika dikelola dengan baik.
Aristoteles dalam The Nichomacean Ethics, karya terbaiknya tentang etika atau kebajikan dan karakter moral, menyebut, bukan emosionalitas yang menjadi masalah.
Menurut filsuf Yunani ini, masalahnya adalah bagaimana kita bisa mengekspresikan dan mengendalikan semua jenis emosi dan menguasainya dengan cara-cara yang cerdas. Nafsu sekalipun jika dilatih dengan baik akan membuahkan kebijaksanaan.
Etika Nikomakea tersebut memusatkan perhatian pada pentingnya membiasakan berperilaku baik dan mengembangkan watak yang baik pula.
Aristoteles menekankan pentingnya konteks dalam perilaku etis dan kemampuan dari orang yang baik untuk mengenali langkah terbaik yang perlu diambil.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran.
Menurut JE Prawitasari, pakar dari UGM Yogyakarta, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia (Prawitasari,1995).
Para filsuf juga mengemukakan bermacam-macam emosi. Salah satunya filsuf kelahiran Perancis, Rene Descrates (Maret 1596-Februari 1650) mengatakan, emosi terbagi atas hasrat, benci, sedih atau duka, heran, cinta, dan kegembiraan.
Kembali ke baper! Mengingat baper bisa dialami oleh siapa saja, lantas bagaimana jika pemimpin negara, tokoh yang pantas disebut bapak – baik mantan atau sedang berkuasa – mengalami baper.
Dampaknya bisa buruk. Kondisi yang muncul adalah hawa negatif dan membuat kita tidak produktif atau kontraproduktif di dalam medan pembangunan bangsa yang besar dan bermartabat.
Apalagi jika baper berbuntut pada upaya politisasi atas berbagai isu kebangsaan lainnya yang sebenarnya bisa disikapi dengan dialog yang arif dan bijak agar menyejukkan hati rakyat.
Rasanya tidak elok jika pemimpin, yang diharapkan mampu mengelola perasaan dengan baik justru malah baperan; mereka jadi pergunjingan dan cemoohan publik serta di-bully di media sosial.
Kita membutuhkan pemimpin yang tidak berkutat pada kepentingan diri sendiri, yang membangun komunikasi dengan kelompok, golongan, atau tokoh lain semata hanya untuk kepentingan pribadi.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedang berusaha bangkit untuk maju dan berkembang bersama-sama melampaui sekat-sekat sosial.
Mari kita bangkit untuk kemajuan, berlomba-lomba berkarya dan mencipta untuk menjangkau bulan, menjelajahi dirgantara, dan menemukan teknologi baru demi kemaslahatan kita bersama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.