BOGOR, KOMPAS.com - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menilai, ada yang salah dari penunjukan Patrialis Akbar sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi pada 2013.
Sebab, nama Patrialis langsung ditunjuk oleh Presiden ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono, tanpa melibatkan panitia seleksi.
Belakangan, Patrialis ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan sangkaan menerima suap terkait penanganan uji materi undang-undang.
"Kalau sekarang ternyata kebobolan seperti ini, tentunya ada yang salah dalam seleksi," kata Wiranto di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (27/1/2017).
"Seleksi itu kan menentukan yang terbaik. Tatkala hasil seleksi output-nya tidak terbaik berarti ada yang salah dalam proses seleksi," tambahnya.
(baca: Patrialis Akbar, Hakim MK Pilihan SBY yang Sempat Jadi Polemik)
Untuk itu, lanjut Wiranto, pemerintah berupaya mengubah sistem seleksi yang dilakukan SBY itu.
Hakim MK dari unsur pemerintah pengganti Patrialis Akbar akan dipilih secara terbuka dan transparan lewat panitia seleksi.
"Figur-figur yang dipilih itu kan masyarakat harus tahu, siapa, latar belakangnya bagaimana, tidak ujug-ujug muncul begitu kan tidak bisa," kata dia.
(baca: Demokrat Minta Kasus Patrialis Tak Dikaitkan dengan SBY)
Wiranto berharap, dengan sistem seleksi hakim MK yang terbuka dan transparan, maka kejadian yang menimpa patrialis tidak terulang.
Penunjukan Patrialis sebagai penjaga konstitusi sempat menjadi polemik. Keputusan SBY itu dinilai menyalahi tata cara pemilihan hakim konstitusi.
Proses pemilihan Patrialis dianggap tidak transparan dan tidak membuka peluang bagi masyarakat untuk turut menyumbangkan pendapat.
(baca: Petinggi Demokrat Sebut Penunjukan Patrialis oleh SBY Sesuai Prosedur)
Padahal, berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi diatur mengenai pencalonan hakim konstitusi secara transparan dan partisipatif.
Penjelasan Pasal 19 mengatur, calon hakim konstitusi harus diumumkan melalui media cetak ataupun elektronik sehingga masyarakat dapat memberi masukan terhadap calon hakim konstitusi itu.
Proses seleksi dalam penunjukan Patrialis tidak seperti yang dilakukan Dewan Pertimbangan Presiden pada 2008 yang menggunakan seleksi terbuka.
Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi (ICW dan YLBHI) kemudian menggugat Kepres 87/P Tahun 2013 ke pengadilan tata usaha negara.
Sebaliknya, pemerintah ketika itu meyakini tidak ada aturan yang dilanggar. Presiden memiliki hak prerogatif untuk memilih calon hakim konstitusi.
Proses seleksi oleh Wantimpres itu dianggap pemerintah bukanlah kebiasaan tata kenegaraan yang baku.
Di tengah kritik dan penolakan dari sejumlah kalangan, Patrialis Akbartetap mengucapkan sumpah sebagai hakim konstitusi untuk periode 2013-2018 di Istana Negara pada Selasa (13/8/2013).
Seperti dikutip Kompas, Kamis (26/11/2013), PTUN Jakarta kemudian membatalkan keppres tersebut.
PTUN meminta pemerintah mencabut keppres tersebut dan menerbitkan keppres baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PTUN menilai pemilihan Patrialis tidak sesuai dengan Pasal 19 UU Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan pemilihan secara transparan dan partisipatif.
Pemerintah kemudian banding. Dalam proses banding itu, Patrialis tetap menjadi hakim konstitusi.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta kemudian membatalkan keputusan PTUN Jakarta.
PTTUN mengakui legal standing penggugat (ICW dan YLBHI), tetapi kedua lembaga tersebut dinilai tidak memiliki kepentingan pribadi atas pengangkatan dua hakim konstitusi tersebut.
Patrialis ditangkap KPK setelah diduga menerima suap senilai 20.000 Dollar AS dan 200.000 Dollar Singapura, atau senilai Rp 2,15 miliar.
Pemberian dari pengusaha impor daging Basuki Hariman tersebut diduga agar Patrialis membantu mengabulkan gugatan uji materi yang sedang diproses di Mahkamah Konstitusi.
Perkara gugatan yang dimaksud yakni, uji materi nomor 129/puu/XII/2015 terkait Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.