JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, agenda reformasi di Kejaksaan dan Kepolisian tidak berjalan dengan baik selama dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Peneliti dari Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Aradila Caesar mengatakan, saat ini kedua lembaga penegak hukum tersebut masih memiliki masalah terkait independensi, rekruitmen dan mutasi internal.
Ia menilai, tidak tepat keputusan Presiden Jokowi memilih Jaksa Agung HM Prasetyo yang berlatar belakang partai politik dan tetap mempertahankanya hingga sekarang. Reformasi Kejaksaan akhirnya berjalan tanpa monitoring dan evaluasi.
Sementara reformasi di Kepolisian baru mulai sejak Jenderal Tito Karnavian memimpin Polri.
"Agenda reformasi Kejaksaan dan Kepolisian belum berjalan baik. Di Kepolisian perlu waktu lebih panjang," ujar Aradila di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (20/10/2016).
(baca: Gayus: Lambatnya Reformasi Hukum Era Jokowi karena Warisan)
"Di Kejaksaan, masih saja muncul keluhan atau ketidakpuasan soal pembinaan di Kejaksaan. Mulai dari rekuitmen, pendidikan untuk jaksa, mutasi, promosi dan penunjukkan pejabat struktural di Kejaksaan," tambah dia.
Aradila menjelaskan, ketika Presiden Jokowi menunjuk HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung pada 20 November 2014, banyak pihak yang pesimistis mengenai kinerja dan reformasi Kejaksaan.
Kejaksaan, kata Aradila, rawan adanya intervensi politik dan tersandera kepentingan politik. Selain itu, kekhawatiran lain yang muncul adalah soal loyalitas ganda.
Selain loyal kepada Presiden, Jaksa Agung yang berasal dari Parpol diduga juga akan loyal kepada pimpinan partai dimana dia bergabung.
(baca: Jokowi Bicara Pemberantasan Pungli, Para Gubernur Mengangguk-angguk)
Aradila menuturkan, keraguan banyak kalangan ini sebenarnya harus dijawab HM Prasetyo dengan kerja dan mempercepat agenda reformasi di kejaksaan serta independensi institusi.
Namun, dalam dua tahun terakhir reformasi di Kejaksaan timbul tenggelam. Kejaksaan tidak pernah secara terbuka menyampaikan capaian hasil reformasi yang sudah dilakukan.
Di sisi lain penilaian aparatur sipil negara berdasarkan prestasi kerja tidak berjalan dengan baik.
Promosi jabatan di Kejaksaan seringkali dicurigai dan dinilai tanpa ada tolak ukur yang jelas.
Rekam jejak seringkali tidak digunakan untuk mempromosikan seorang jaksa. Jaksa-jaksa yang merasa berprestasi memberantas korupsi tiba-tiba “dilempar" atau dimutasikan.
"lntensitas politik masih saja terdengar sebagai upaya menyingkirkan Jaksa yang berprestasi," kata Aradila.
(baca: Jokowi: Serupiah Pun Akan Saya Urus kalau Pungli!)
Belum selesai dengan persoalan reformasi di Kejaksaan, citra institusi korps Adhyaksa kembali tercoreng dengan sejumlah penangkapan yang dilakukan oleh KPK terhadap jaksa yang diduga menerima suap.
Kondisi serupa juga terjadi di tubuh Kepolisian. Meski upaya reformasi dinilai mulai berjalan, menurut Aradila, gebrakan reformasi di Kepolisian oleh Tito Karnavian belum terlalu terlihat.
"Upaya pemberantasan korupsi di internal Kepolisian baru terlihat sebatas pembersihkan praktik pungutan liar yang mayoritas dilakukan satuan lalu lintas," kata dia.