Apa persamaan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan permainan augmented reality Pokemon Go? Bagi pegiat anti korupsi, aktivitas "tangkap" menjadi penghubung kedua hal itu.
Jika permainan Pokemon Go menangkap monster, KPK juga menangkap "monster" pengisap uang negara alias koruptor.
Belasan aktivis anti korupsi berjajar di tangga masuk gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa (26/7).
Mereka membentangkan spanduk bertuliskan pelesetan dari Pokemon Go, yakni "Makumon Go", yang merupakan singkatan dari "Mafia Hukum Kelas Monster".
Mereka juga menampilkan aksesori lain untuk "menyaru" permainan yang tengah naik daun di berbagai belahan dunia itu.
Seorang aktivis mengenakan "topeng" dari bantal Pikachu, monster jenis tikus yang menjadi salah satu ikon Pokemon.
Lalu, ada pula dua bola Pokemon untuk menangkap monster, yang lalu diserahkan kepada dua wakil ketua KPK yang menemui mereka, yakni Alexander Marwata dan Saut Situmorang.
Kedua unsur pimpinan KPK itu kemudian diminta melemparkan bola Pokemon tersebut ke arah Pikachu. Marwata satu kali melemparkan bola yang lantas mengenai topeng wajah Pikachu itu.
Sementara Saut empat kali melemparkan bola itu. Semua mengenai topeng tersebut, hingga akhirnya terjatuh dari pegangan si aktivis. Sebagai latar belakang kegiatan itu, dua aktivis memegang spanduk bergambar gedung Mahkamah Agung (MA).
"Kami ingin memberi tahu KPK bahwa masyarakat dengan game sederhana Pokemon Go sangat bersemangat.
KPK yang berperan besar untuk mengubah wajah peradilan, masa tidak dimanfaatkan atau malah kalah semangat sama warga yang main Pokemon?" kata Julius Ibrani, juru bicara Koalisi Pemantau Peradilan, yang menginisiasi Makumon Go itu.
Pelesetan dari Pokemon Go itu menjadi kritik sekaligus penyemangat yang dilontarkan aktivis-aktivis anti korupsi agar KPK bergerak cepat mendorong pembenahan peradilan di Indonesia.
Menurut Julius, sejauh ini, KPK masih menangkap operator biasa. Mereka dinilai belum menangkap aktor utama atau yang disebutnya sebagai aktor "monster" mafia peradilan di Indonesia.
Namun, mereka tetap mengapresiasi langkah KPK yang akhir pekan lalu mengeluarkan surat perintah penyelidikan untuk Sekretaris MA Nurhadi.
Nama Nurhadi disebut dalam persidangan kasus suap perkara yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
KPK juga sudah menggeledah rumah Nurhadi dan menyita uang Rp 1,7 miliar berbentuk valuta asing. Namun, seusai diperiksa sebagai saksi di gedung KPK beberapa waktu lalu, Nurhadi membantah uang itu terkait pengurusan perkara.
Julius berharap penyelidikan terhadap Nurhadi bisa menjadi pintu masuk bagi pembenahan peradilan di Indonesia.
Ia berharap KPK tidak sekadar melihat fenomena itu sebagai kasus-kasus yang terpisah. Sebaliknya, KPK perlu masuk untuk mendorong pencegahan dan kerja sama antarlembaga guna membantu lembaga peradilan bersih dari korupsi
Makin buruk
World Justice Project Rule of Law Index tahun 2014 dan 2015 mengindikasikan persepsi masyarakat terhadap pembenahan korupsi di tubuh institusi peradilan semakin buruk.
Jika pada 2014 nilai persepsi korupsi lembaga yudikatif mencapai 0,28, tahun 2015 nilai itu turun ke 0,22.
Dari nilai 0 hingga 1, semakin mendekati angka nol, semakin buruk persepsinya, sedangkan semakin mendekati angka 1, semakin baik persepsi masyarakat.
"Banyak hal bisa dibantu KPK, mulai dari perbaikan struktur badan pengawasan yang saat ini ada di bawah sekretariat, mekanisme promosi hakim, dan manajemen perkara," tutur Julius.
Lalu, bagaimana tanggapan KPK? Marwata mengatakan, beberapa operasi tangkap tangan KPK terhadap aparatur peradilan, seperti panitera, memperkuat sinyalemen masyarakat bahwa mafia peradilan itu ada.
Dia menjamin, KPK juga akan mendorong reformasi peradilan, terutama di Mahkamah Agung, tak hanya berhenti pada penindakan.
"Deputi Pencegahan KPK (Pahala Nainggolan) beberapa waktu lalu sudah bertemu dengan pimpinan MA untuk membicarakan apa yang KPK bisa bantu untuk perbaikan sistem peradilan," ujar Marwata.
Semoga saja gayung itu benar bersambut.. (Antony Lee)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.