JAKARTA, KOMPAS.com — Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinilai mendesak.
Regulasi yang memadai dinilai penting bagi penegak hukum dalam menangkal aksi terorisme.
"Semoga politisi kita di Senayan (DPR) tidak terlena setelah bangsa ini dicabik-cabik oleh paham radikal yang mengatasnamakan agama," ujar pengamat kepolisian dari Universitas Mpu Tantular, Ferdinand Montororing, dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (9/7/2016).
(Baca juga: Wakil Ketua MPR: Berantas Terorisme Tak Perlu Tunggu Revisi UU)
Menurut Ferdinand, undang-undang yang saat ini tidak cukup memadai bagi Polri untuk melakukan tindakan preventif.
Sebab, dalam sistem hukum pidana, untuk membawa seseorang ke pengadilan, harus ditemukan adanya unsur melawan hukum yang dilakukan orang tersebut.
"Sementara, pemikiran radikal yang mengarah pada aksi teror belum bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana," kata Ferdinand.
Menurut Ferdinand, revisi UU tentang Pemberantasan Terorisme dapat diarahkan untuk memberi kewenangan lebih kepada kepolisian.
Berdasarkan draf RUU tersebut, menurut dia, proses hukum dapat dilakukan saat seorang terduga teroris mulai terindikasi hal-hal yang berkaitan dengan radikalisme.
(Baca juga: Jimly Asshiddiqie: Kelemahan Indonesia Berasumsi, Atasi Terorisme Harus dengan UU)
Proses pembuktiannya kemudian dapat dilanjutkan selama seorang terduga teroris itu berada dalam pengawasan kepolisian.
Untuk itu, Ferdinand meminta DPR mempercepat pembahasan revisi undang-undang tersebut. Ia berharap, ke depannya tidak terjadi lagi aksi teror seperti di Solo, Jawa Tengah.
Kendati demikian, ia juga menekankan bahwa revisi UU tersebut sedianya tetap menghormati hak asasi manusia.