Pertama, Indonesia tidak mengakui adanya sembilan garis putus sebagaimana diklaim oleh Tiongkok.
Kedua, Indonesia ingin menjaga posisinya sebagai penengah yang jujur. Posisi ini tentu tidak bisa dan tidak boleh dipertahankan ketika kepentingan Indonesia dirugikan.
Posisi sebagai penengah yang jujur dapat dipertahankan sepanjang konflik di LTS berkaitan dengan kepulauan, termasuk karang dan bebatuan lainnya, serta keamanan dan jaminan kebebasan pelayaran internasional.
Bagi Tiongkok, dihindarinya pernyataan secara terbuka karena sengketa batas maritim dengan Indonesia akan merugikan posisinya di LTS. Saat ini hampir semua negara kawasan dan negara yang memiliki kepentingan memusuhi Tiongkok.
Meski memiliki status sebagai negara hegemoni di kawasan, Tiongkok butuh sekutu, paling tidak negara yang netral. Di sinilah peran Indonesia di mata Pemerintah Tiongkok, di samping negara seperti Kamboja dan Laos.
Negara-negara seperti ini dibutuhkan Tiongkok dalam menghadapi musuh-musuhnya di LTS. Semisal terkait pernyataan bersama Menteri Luar Negeri ASEAN di Kunming, 14 Juni lalu, yang sedianya berisi tentang konflik di LTS dapat dibatalkan.
Rumor pun beredar, ini berkat Tiongkok mampu memengaruhi Laos dan Kamboja untuk tidak menyetujuinya. Ketidaksetujuan ini berarti menghalangi terjadinya konsensus yang dijunjung tinggi oleh ASEAN dalam pengambilan keputusan.
Demikian pula di Indonesia, Dubes Tiongkok untuk Indonesia tidak sungkan menerbitkan artikel berisi posisi Pemerintah Tiongkok di harian Jakarta Post versi online-nya yang dapat diakses oleh seluruh dunia.
Dalam artikel tersebut, Dubes Tiongkok mengimbau masyarakat internasional, termasuk Indonesia tentunya, berupaya agar Filipina menghentikan gugatan melawan Tiongkok yang berlangsung di Permanent Court of Arbitration.
Rumusan
Presiden Joko Widodo pada 13 Juni lalu memanggil Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan, yang intinya agar Indonesia bisa merumuskan kebijakan luar negeri Indonesia terkait sengketa di LTS.
Rumusan itu nantinya menjadi pegangan bagi para pejabat Indonesia agar memiliki pandangan yang sama.
Ada paling tidak tiga rumusan penting yang harus direfleksikan dalam kebijakan luar negeri Indonesia terkait sengketa di LTS.