Enggan diawasi
Berbagai putusan MK terkait pengawasan terhadap hakim konstitusi menegaskan posisi MK yang enggan untuk diawasi lembaga di luar MK. Hakim MK menolak jadi subyek dari pengawasan Komisi Yudisial (Putusan 5/PUU-III/2006).
Melalui UU No 8/2011 tentang Perubahan Pertama UU No 24/2003 tentang MK, pemerintah dan DPR berusaha untuk melakukan pengawasan melalui pembentukan Majelis Kehormatan MK.
Pasal-pasal dalam UU No 8/2011 yang mengatur mengenai pengawasan ini juga dibatalkan MK (Putusan 49/PUU-IX/2011).
Pasca tertangkap tangan Akil Mochtar, kembali konsep pengawasan yang diperkenalkan melalui UU No 4/2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1/2013 tentang Perubahan Kedua UU No 24/2003 tentang MK juga dibatalkan MK (Putusan 1-2/PUU-XII/2014).
MK lebih memilih membentuk Dewan Etik yang keanggotaannya dipilih dan ditetapkan Ketua MK.
Hasil pemeriksaan Dewan Etik itu sendiri memiliki beberapa hal yang dapat dipertanyakan. Sebagaimana yang beredar di berbagai media massa, Ketua MK Arief Hidayat diduga menyampaikan memo katebelece kepada Widyo Pramono, yang pada saat itu adalah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
Menurut Arief Hidayat, memo tersebut ditujukan tidak untuk mempromosikansi pembawa memo (M Zainur Rochman), tetapi sebagai surat pengantar terhadap penilaian karya ilmiah Widyo Pramono sebagai prasyarat untuk menjadi profesor di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Akan tetapi, Jaksa Agung Muda Widyo Pramono menolak mengaku pernah menerima memo katebelece tersebut, bahkan tidak bertemu dengan si pembawa memo.Dewan Etik tidak mampu untuk membuktikan bantahan yang diberikan Widyo Pramono.
Namun, pengakuan dari Ketua MK mempermudah beban pembuktian Dewan Etik. Dengan membuat memo katebelece tersebut, Dewan Etik menyatakan Ketua MK telah melanggar kode etik, prinsip keempat ”kepantasan dan kesopanan”, dan menjatuhkan sanksi ”teguran lisan”.
Bagi para pemerhati hukum, pertanyaan yang muncul kemudian, apakah ”teguran lisan” tersebut cukup? Dengan konteks pada saat ini, di mana kita saling ”texting” dan mengirimkan pesan melalui ”tulisan”, menyampaikan sesuatu secara ”lisan” adalah sesuatu yang jarang dilakukan.
Teguran lisan merupakan sesuatu yang lebih sulit dilakukan karena Dewan Etik akan berhadapan dengan Ketua MK di mana kedua belah pihak dapat mengamati ekspresi muka dan emosi saat ”teguran” disampaikan.
Atmosfer tersebut tidak akan ditemukan apabila teguran yang disampaikan secara tertulis, yang mungkin saja dapat langsung disimpan di balik laci.
Apakah ”teguran” yang disampaikan secara lisan tersebut cukup? Mungkin dapat diperdebatkan bahwa dalam budaya Indonesia memberikan rekomendasi kepada orang lain adalah hal yang lumrah dilakukan.