Pada saat kita mengetahui bahwa seseorang yang kita kenal memiliki potensi, kita akan memberikan rekomendasi agar seseorang dapat menduduki jabatan sesuatu. Bukankah sistem rekomendasi adalah hal yang biasa lakukan?
Akan tetapi, hal penting yang kita tidak boleh lupa bahwa sistem etika yang dimiliki Ketua MK berbeda dengan sistem etika yang—katakanlah—saya miliki.
Hal-hal yang dapat saya dapat lakukan sebagai warga negara biasa tidak akan dapat dilakukan Ketua MK karena jabatan dan tanggung jawab yang dimilikinya.
Apalagi MK menyatakan dirinya sebagai penjaga konstitusi, tetapi pimpinan MK memiliki standar etika melebihi kita semua.
Semakin kelabu
Putusan Dewan Etika menambah kelam kelabunya lembaga yudisial kita. Masih segar dalam ingatan kita tertangkapnya panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pencekalan terhadap Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung. Dunia peradilan semakin menuju kekelamannya.
MK yang diharapkan dapat memberikan satu kebanggaan kepada para pencari keadilan juga tidak lepas dari permasalahan etika.
Sejak kasus etika Akil Mochtar pada 2012, Arsyad Sanusi, tertangkap tangan Akil Mochtar dan berbagai laporan yang disampaikan masyarakat kepada Dewan Etik, seharusnya MK mulai berkaca: apakah MK masih menjaga mahkota keadilan yang selama ini dipercayakan kepada para hakim konstitusi?
Ketua MK Arief Hidayat memiliki kesempatan untuk mengembalikan mahkota lembaga yudisial yang makin hari makin hilang sinarnya. Kesempatan tersebut telah tercoreng dengan putusan Dewan Etik.
Meskipun berbagai pihak menyatakan bahwa Arief Hidayat tidak perlu mundur sebagai hakim konstitusi, tetapi perlu dipertimbangkan apakah Arief Hidayat masih memiliki marwah untuk menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi?
Tulisan ini tidak bertujuan untuk mempersolkan lebih jauh sanksi yang diberikan Dewan Etik kepada Ketua MK.
Saya hanya ingin mengetuk hati nurani Profesor Arief Hidayat untuk melihat masa depan dunia peradilan di Indonesia.
Apabila ada kesempatan untuk menegakkan sistem etika yang semakin luntur dan bertindak kesatria untuk turun dari takhta demi kepentingan masa depan hukum Indonesia, tidakkah seharusnya kesempatan itu dipergunakan? Sayang sekali, kesempatan berharga tersebut dilepaskan begitu saja.
Fritz Siregar, Pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.