JAKARTA, KOMPAS.com - Ruang sidang paripurna di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, pada Senin (11/4/2016) siang, ricuh.
Kegaduhan atas hal yang sama terulang, saat Dewan Perwakilan Daerah membuka Masa Sidang IV Tahun Sidang 2015-2016.
Kegaduhan tersebut terjadi sebagai imbas penolakan pimpinan DPD untuk menandatangani Tata Tertib DPD yang telah direvisi dan disepakati bersama pada 15 Januari lalu.
Kericuhan kemarin berawal dari interupsi sejumlah anggota, salah satunya Benny Ramdhani. Ia ingin membacakan surat berisi mosi tidak percaya yang ditujukan kepada Ketua DPD Irman Gusman dan Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad.
"Saya hanya meminta waktu lima menit saja, untuk menyampaikan amanah yang diberikan rekan-rekan kepada saya," teriak Benny.
Ada anggota yang mendukung upaya Benny. Namun, tak sedikit pula yang menolak.
Mereka yang menolak permintaan Benny beralasan, tidak ada agenda untuk mendengarkan surat yang hendak dibacakan anggota DPD asal Sulawesi Utara tersebut.
"Pimpinan, yang tegas, pimpinan. Tidak ada agenda itu," teriak salah seorang anggota.
Sesuai agenda yang telah disepakati di dalam rapat panitia musyawarah di hari yang sama, memang tidak ada agenda untuk mendengarkan pembacaan surat mosi tidak percaya tersebut.
Agenda yang ada hanya lah pembukaan masa sidang, pidato pembukaan yang disampaikan Irman Gusman, serta penyampaian hasil reses anggota. Benny pun tetap maju ke podium.
Tanpa menghiraukan penolakan yang diajukan oleh sesama rekannya, ia tetap membacakan surat tersebut. Tak ayal, hal itu memicu keributan. Adu mulut pun terjadi.
(Baca: Baru Dibuka, Sidang Paripurna DPD Kembali Ricuh)
Mereka yang mendukung Benny, memintanya untuk tetap melanjutkan pembacaan surat. Sedangkan mereka yang tidak setuju, meminta Benny untuk turun.
Keributan akhirnya bisa diredam setelah Benny turun dan sejumlah anggota DPD mulai melantunkan Shalawat Badar.
(Baca: Dengarkan Lantunan Shalawat, Anggota DPD yang Ricuh Mendadak Tenang)
Mosi tidak percaya
Ada dua hal yang menjadi dasar kekecewaan sejumlah anggota sehingga menandatangani mosi tersebut. Pertama, penolakan pimpinan untuk menandatangani perubahan Tatib yang telah disepakati.
Salah satu poin penting di dalam perubahan itu yakni dipangkasnya masa jabatan pimpinan alat kelengkapan, termasuk pimpinan DPD, dari lima tahun menjadi 2,5 tahun.
Keputusan itu telah disepakati dalam rapat paripurna pada Januari lalu yang juga dihadiri Irman.
Kekecewaan kedua, disebabkan sikap pimpinan DPD yang menutup sidang paripurna pada 17 Maret lalu secara sepihak.
Di saat yang sama, Ketua Badan Kehormatan DPD AM Fatwa sedang membacakan hasil perubahan Tatib DPD.
Akibat kedua hal itu, sebanyak 60 anggota menandatangani mosi tidak percaya. Mosi itu sendiri telah diserahkan kepada BK DPD sebelum sidang paripurna kemarin dibuka.
Namun, secara simbolis mosi itu kembali diserahkan di depan forum sidang yang disaksikan langsung oleh pimpinan DPD.
Ditindaklanjuti
Ketua BK DPD AM Fatwa memastikan akan menindaklanjuti mosi tidak percaya yang telah disampaikan.
Sejak diberi mandat untuk merevisi secara redaksional Tatib yang telah disepakati, ia menyebut, BK telah beberapa kali menyurati pimpinan DPD untuk segera menandatangani Tatib.
Namun, permintaan itu tak kunjung ditindaklanjuti sampai kini. (Baca: BK Akan Kembali Ajukan Tanda Tangan Perubahan Tatib DPD)
"(Bisa dilakukan) pemanggilan (pimpinan) nanti," kata Fatwa.
Ia pun optimistis, pimpinan akan memenuhi panggilan BK jika hal itu dilakukan. Sebab, selama ini pimpinan dikenal kooperatif jika mendapat panggilan BK.
Secara terpisah, Irman meminta, agar semua pihak dapat menyikapi mosi tidak percaya secara bijaksana. Sebab, mekanisme itu tidak diatur di dalam sistem kelembagaan yang ada.
"Mosi tidak percaya kan hanya dikenal di sistem parlementer dan eksekutif," kata Irman.
(Baca: Mosi Tidak Percaya terhadap Pimpinan DPD Bergulir)
Irman mengaku tidak mempersoalkan isi perubahan Tatib DPD yang telah menjadi kesepakatan bersama itu. Namun, yang menjadi pertanyaan saat ini yakni kapan Tatib itu akan dilaksanakan.
Dalam sidang paripurna yang dilangsungkan pada 2 Oktober 2014 lalu, diputuskan jika masa jabatan pimpinan DPD akan berakhir pada 2019 mendatang.
Ia khawatir jika keputusan itu dilaksanakan saat ini, justru akan bertentangan dengan mekanisme yang telah diatur.
Untuk itu, pimpinan kini tengah meminta pertimbangan kepada Mahkamah Agung untuk mengetahui apakah Tatib yang telah diubah dapat diimplementasikan saat ini.
"Aspirasi bisa diterima sepanjang tidak melanggar UU MD3," ujarnya.