Oleh: Thomas Sunaryo
Dalam sejumlah kongres PBB yang membahas tentang pencegahan kejahatan dan pembinaan pelanggar hukum, selalu direkomendasikan agar negara-negara peserta mengantisipasi perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan politik terkait pembangunan di negara bersangkutan yang mendorong peningkatan kejahatan.
Jepang adalah salah satu negara yang berhasil menekan laju kejahatan. Tak heran jika beberapa tahun lalu Jepang membatalkan atau menunda pembangunan sebuah penjara karena jumlah kejahatan di negeri itu menurun.
Pemasyarakatan
Kehidupan di penjara merupakan suatu kehidupan yang tidak ”wajar”. Suatu kehidupan yang merupakan antitesis terhadap prinsip-prinsip kebebasan memilih dalam suatu masyarakat bebas.
Dalam situasi yang demikian, kecenderungan akan adanya konflik antar-narapidana serta dengan para petugas dan lingkungannya tak dapat dihindari. Lebih-lebih kalau kondisi-kondisi di tempat pemidanaan itu menjadi lebih buruk.
Penjara yang tampak tenteram dari luar sebenarnya menyelubungi tragedi-tragedi kemanusiaan dalam dimensi-dimensi yang lebih mencekam dari apa yang tampak dari luar sebagai insiden-insiden yang meresahkan, seperti pelarian dan kerusuhan.
Baik pelarian-pelarian itu berupa pelarian fisik maupun pelarian mental dalam wujud tingkah laku para narapidana yang menghayalkan kehidupan di luar penjara.
Persoalan lebih jauh muncul jika pembinaan diberikan dengan cara perkiraan saja dan tidak sesuai kebutuhan yang dapat menambah pengetahuan dan keterampilan narapidana bersangkutan.
Menghadapi persoalan di atas, konsentrasi, studi, dan kebijakan dalam pelanggar hukum banyak ditujukan ke arah penyempurnaan sistem kepenjaraan yang lebih manusiawi.
Di Indonesia, pembinaan narapidana dikembangkan melalui konsep pemasyarakatan yang dicanangkan Dr Sahardjo, 53 tahun lalu.
Konsepsi pemasyarakatan tak berfokus pada balas dendam, tetapi pada ”kesatuan hubungan” antarmanusia. Dengan demikian, proses reintegrasi sosial narapidana menyangkut penyesuai menyeluruh dari masyarakat.
Pernyataan Sahardjo bahwa ”Negara tidak berhak membuat seseorang lebih jahat atau lebih buruk daripada sebelum ia dipenjarakan” menjadi salah satu pedoman dalam visi pemasyarakatan.
Kalimat ini, jika dikaji, menyiratkan dimensi-dimensi pemikiran baru. Bukan saja di bidang pemasyarakatan, juga di bidang peradilan pidana dalam pencegahan dan pengurangan kejahatan ataupun dalam penegakan hukum dan keadilan.
Problem nasional
Di Indonesia, tindak kriminal meningkat pesat setelah krisis moneter 1997-1998. Kini, jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di Indonesia over-kapasitas, diwarnai dengan 50-60 persen jumlah penghuninya adalah pengguna narkoba. Ironisnya, di lapas juga tidak bebas dari peredaran narkotika.
Lapas yang tadinya dihuni pencuri, penipu, perampok, pemerkosa, atau pembunuh, kini ditempati juga oleh pemakai, kurir, pengedar, bandar narkoba, penjudi, bandar judi, pelawak, aktor, koruptor, dan teroris.
Juga dihuni orang-orang yang punya profesionalisme dan kompetensi tinggi, seperti bekas pejabat negara, direksi bank, intelektual, profesional, bankir, pengusaha, bahkan eks hakim. Penghuni lapas pun bervariasi tingkat pendidikannya: dari yang ”buta huruf” sampai doktor dan profesor.
Begitu pun usia: dari 18 tahun sampai di atas 70 tahun. Lama hukuman pun dari yang tiga bulan sampai hukuman mati. Juga ada narapidana warga negara asing.