Spektrum penghuni yang sangat luas ini menyebabkan pengelolaan lapas pun menjadi kompleks dan memerlukan penyesuaian atau perubahan yang komprehensif.
Tak hanya berkisar pada alasan keterbatasan sarana dan dana sebagai penyebab pemasyarakatan berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan, juga kreativitas sipir yang ”terpenjara” oleh rutinitas pekerjaan.
Persoalan dampak psikologis dalam ”dunia kecil” buatan manusia itu tak hanya dialami narapidana, tetapi juga berpengaruh terhadap ”mentalitas” sipir: muncul sikap ”makin banyak penghuni lapas, makin banyak memperoleh uang”.
Sebagai contoh, haruskah ketiadaan dana di lapas mengakibatkan ”pengebirian” hak-hak narapidana, seperti cuti mengunjungi keluarga, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat?
Supaya memperoleh pembebasan bersyarat, narapidana harus mengeluarkan biaya sendiri, mulai dari penyiapan jaminan keluarga (diketahui RT/RW dan lurah), inspeksi balai pemasyarakatan ke rumah penjamin, surat kelakuan baik di lapas, surat keterangan kesehatan, pelaksanaan sidang, eksekusi oleh kejaksaan negeri setempat, dan seluruh biaya ”tetek-bengek” yang lazim di Indonesia.
Dengan proses ”normal” seperti itu saja, pengurusan pembebasan bersyarat di sekitar Jabodetabek sekarang ini biayanya Rp 4 juta-Rp 6 juta.
Dengan demikian, narapidana yang memperoleh fasilitas ini hanya mereka yang bisa menyediakan biaya sebesar itu. Tidak punya uang, jangan harap bisa dapat pembebasan bersyarat.
Pemberian hak-hak narapidana secara otomatis sebenarnya salah satu cara pengurangan jumlah penghuni.
Sementara itu, ketidaktersediaan data rata-rata hukuman, masa penahanan, menyebabkan kita tak bisa membuat kurva jumlah narapidana dan masa penahanan, menumpuk pada hukuman mana, sehingga gini ratio tidak bisa dihitung (hukuman terhadap remisi).
Kalaupun dipaksakan, hasil yang diperoleh tidak bisa dipertanggungjawabkan secara statistik.
Data pelanggar pidana berulang, sudah masuk penjara lalu masuk lagi (residivis), juga tak tersedia. Dengan demikian, sejauh mana penjara bisa ”mengubah” perilaku narapidana tak bisa dibuktikan.
Asumsinya, jumlah pelanggaran pidana (pencurian) berkorelasi positifdengan tingkat pengangguran (kesulitan ekonomi keluarga).
Oleh karena itu, sekalipun pelaku sudah dipenjarakan, ketika ia keluar dari penjara tetapi realitas sosial masih seperti sebelumnya, maka kondisi itu akan mendorong eks napi kembali melanggar hukum. Di sinilah letak pentingnya ilmu-ilmu sosial yang lain.