Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/01/2016, 06:04 WIB

Jenderal Soeharto ditempatkan oleh perubahan drastis dan disertai kekerasan pada posisi kepemimpinan. Berlatar belakang militer, memegang komando tetapi sekaligus juga cerdas dan tegas.

Estafet kepemimpinan nasional jatuh kepadanya. Represi Bung Karno terutama karena dibuat ganas, keras, dan kejam oleh PKI membuahkan kekuatan dan gerakan kontraproduktif yang sekaligus menjatuhkan kedudukannya.

Masuk akal alias logis jika perubahan besar terjadi. Beruntunglah TNI berideologi negara Pancasila, bersendikan UUD 1945, membela negara kesatuan dan berakar sejarah laskar rakyat. Itu latar belakang doktrin dwifungsi dan didirikannya organisasi politik baru yang berupa kekaryaan.

Dengan pemahaman yang diasumsikan bahwa masalah ideologi telah selesai dan solid disertai pula pandangan dan sikap pragmatis terjadilah perubahan orientasi dan prioritas agenda dan program nasional.

Sebutlah dari politik dan berpolitikan ke kerja nyata untuk memperbaiki perikehidupan sosial ekonomi rakyat, kerangka dan arah sosial ekonomi negara dan masyarakat dan mengambil sikap terbuka sehingga bisa memanfaatkan sumber hubungan, bantuan, dan kerja sama internasional.

Adalah kecerdasaan Presiden Soeharto dan keterbukaannya yang tahu diri sehingga dapat direkrut para pembantu pada tingkat menteri yang dalam bidang ekuin dan bidang lain memberikan kualitas kompetensi profesional dan teknokratis.

Perbaikan dalam perikehidupan sosial ekonomi rakyat dan negara berubah pesat secara positif. Jika pemerintah dan pemerintahan waktu itu adalah otokratis, otokrasi itu sekaligus teknokratis dan kompeten.

Sayang pola, semangat, dan praksis otokrasi yang "tercerahkan"-enlightened-itu tidak bertahan. Kekuasaan tumbuh dan berkembang dalam suasana berlakunya kembali budaya feodalisme, terutama feodalisme kekuasaan.

Pemerintah mulanya diusung oleh idealisme kekayaan bagi kemakmuran orang banyak dan untuk melayani orang banyak, tersendat dan akhirnya terjatuh pada budaya feodal kekuasaan yang minta dilayani.

Karena kekuatan yang mengontrol lemah dan semakin melemah, muncullah fenomena yang mewabah sebagai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Wibawa dan efektivitas kekuasaan tergerogoti dan lemah.

Tidak ada lagi tempat untuk kekuatan kontrol yang efektif. Pemerintah ikut melemah dan ketika badai krisis ekonomi menjalar juga ke Indonesia, muncullah casus belli-dadakan-untuk jatuhnya presiden kedua dan rezimnya.

Masuklah Indonesia ke babak baru, periode Reformasi. Dilakukan pembaruan terhadap tafsir UUD 1945. Bukan otokrasi, tetapi demokrasi. Kekuasaan dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat melalui pemimpin pemerintahan yang dipilih dalam pemilu serta DPR yang juga hasil pemilihan umum.

Sejarah berulang, terutama yang menyangkut posisi dan nasib Presiden Soeharto. Meskipun berbeda, ia menjalani nasib serupa dengan presiden pertama. Diberhentikan dari jabatan presiden, diisolasi dan menjalani proses panjang menyangkut penilaian publik terhadap kinerja dan praksis kekuasaan selama menjabat.

Masuk akal dan logis jika hukuman dijatuhkan, politik pasti, perdata dan pidana tergantung. Namun, terutama terhadap presiden kedua bukan saja disentuh, tetapi menempati agenda sentral.

Beruntunglah dalam periode Reformasi berlaku asas praduga tak bersalah, berlaku asas dan proses hukum. Meskipun terjemahannya dalam politik sama, yakni diturunkan dan diisolasi, perlakuan terhadap presiden kedua lebih manusiawi daripada presiden pertama.

Presiden pertama jatuh. Nasib serupa menimpa presiden kedua. Masuk akal jika kedua kasus historis itu kita ambil pengalaman dan pelajarannya.

Kekuasaan yang melampaui batas kewajaran-dua periode saja. Budaya kekuasaan feodal yang melekat kuat dan menaklukkan kekuasaan demokrasi.

Ketika pengalaman itu mulai menjadi sejarah, bahkan sejarah yang berulang, masuk akal jika kita dalami dan selami pelajarannya yang diberikan oleh jatuhnya presiden pertama dan kedua.

Kita mengambil pelajaran dari kelebihan dan keberhasilannya dan kita hargai. Kita mengambil pelajaran dari kegagalan, kealpaan, dan kesalahannya.

Dalam konteks itu, patut kiranya juga dalam sikap kritis, kita berpegang pada kebajikan mikul dhuwur, mendhem jero, tetap menghormati secara sepantasnya dan tetap menghargai kebaikan dan keberhasilannya. Cukuplah presiden pertama dan presiden kedua yang mengalami akhir yang tragis.

Dengan kata lain, Reformasi yang juga menimba dari periode presiden pertama dan presiden kedua itu kita usahakan seoptimal mungkin keberhasilannya.

 Artikel berikut ini telah ditayangkan di harian Kompas pada halaman pertama edisi 28 Januari 2008 dengan judul "Warisan Soeharto".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Gelar 'Roadshow' Keliling Jawa, Ajak Publik Tolak Politik Uang

KPK Gelar "Roadshow" Keliling Jawa, Ajak Publik Tolak Politik Uang

Nasional
Bobby ke Gerindra padahal Sempat Bilang 'Insya Allah' Gabung Golkar, Mekeng: 'Nothing Special'

Bobby ke Gerindra padahal Sempat Bilang "Insya Allah" Gabung Golkar, Mekeng: "Nothing Special"

Nasional
PPP Disebut Tak Bisa Lolos Parlemen, Mardiono: Ketua KPU Bukan Pengganti Tuhan

PPP Disebut Tak Bisa Lolos Parlemen, Mardiono: Ketua KPU Bukan Pengganti Tuhan

Nasional
Soal Dapat Jatah 4 Kursi Menteri, Ketum PAN: Hak Prerogatif Prabowo

Soal Dapat Jatah 4 Kursi Menteri, Ketum PAN: Hak Prerogatif Prabowo

Nasional
Galang Dukungan di Forum Parlemen WWF Ke-10, DPR Minta Israel Jangan Jadikan Air Sebagai Senjata Konflik

Galang Dukungan di Forum Parlemen WWF Ke-10, DPR Minta Israel Jangan Jadikan Air Sebagai Senjata Konflik

Nasional
Alasan PDI-P Tak Undang Jokowi Saat Rakernas: Yang Diundang yang Punya Spirit Demokrasi Hukum

Alasan PDI-P Tak Undang Jokowi Saat Rakernas: Yang Diundang yang Punya Spirit Demokrasi Hukum

Nasional
Waketum Golkar Kaget Bobby Gabung Gerindra, Ungkit Jadi Parpol Pertama yang Mau Usung di Pilkada

Waketum Golkar Kaget Bobby Gabung Gerindra, Ungkit Jadi Parpol Pertama yang Mau Usung di Pilkada

Nasional
Pj Ketum PBB Sebut Yusril Cocok Jadi Menko Polhukam di Kabinet Prabowo

Pj Ketum PBB Sebut Yusril Cocok Jadi Menko Polhukam di Kabinet Prabowo

Nasional
Penerbangan Haji Bermasalah, Kemenag Sebut Manajemen Garuda Indonesia Gagal

Penerbangan Haji Bermasalah, Kemenag Sebut Manajemen Garuda Indonesia Gagal

Nasional
DKPP Didesak Pecat Ketua KPU dengan Tidak Hormat

DKPP Didesak Pecat Ketua KPU dengan Tidak Hormat

Nasional
JK Nilai Negara Harus Punya Rencana Jangka Panjang sebagai Bentuk Kontrol Kekuasaan

JK Nilai Negara Harus Punya Rencana Jangka Panjang sebagai Bentuk Kontrol Kekuasaan

Nasional
JK Respons Jokowi yang Tak Diundang Rakernas: Kan Bukan Lagi Keluarga PDI-P

JK Respons Jokowi yang Tak Diundang Rakernas: Kan Bukan Lagi Keluarga PDI-P

Nasional
Istri hingga Cucu SYL Bakal Jadi Saksi di Persidangan Pekan Depan

Istri hingga Cucu SYL Bakal Jadi Saksi di Persidangan Pekan Depan

Nasional
KPK Akan Hadirkan Sahroni jadi Saksi Sidang SYL Pekan Depan

KPK Akan Hadirkan Sahroni jadi Saksi Sidang SYL Pekan Depan

Nasional
Projo Sarankan Jokowi Gabung Parpol yang Nasionalis Merakyat

Projo Sarankan Jokowi Gabung Parpol yang Nasionalis Merakyat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com