Pada 23 Juni 2015, pemerintah dan DPR menyepakati bahwa revisi UU KPK masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2015 sebagai inisiatif pemerintah.
Pada 6 Oktober lalu, sebanyak 45 anggota DPR mengusulkan untuk mengambil alih inisiatif penyusunan RUU KPK.
Dalam usulannya, para anggota DPR itu menyertakan draf yang isinya dianggap melemahkan KPK. Contohnya, diatur bahwa masa kerja KPK hanya 12 tahun setelah UU diundangkan.
(Baca: Ini Alasan PDI-P Batasi Umur KPK Hanya 12 Tahun)
Draf itu juga mengatur batasan bahwa KPK hanya bisa menangani kasus dengan kerugian negara minimal Rp 50 miliar.
Kewenangan penyadapan KPK juga harus dilakukan melalui izin pengadilan. KPK juga diusulkan tak lagi menyelidik dan menyidik perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.
KPK juga nantinya akan memiliki kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Terakhir, akan dibentuk juga lembaga pengawas untuk mengawasi kinerja KPK.
(Baca: Rapat dengan DPR, KPK Minta Tak Lagi Dilemahkan)
Setelah rencana tersebut menuai kritik, pada 14 Oktober, pemerintah dan pimpinan DPR sepakat menunda pembahasan revisi UU KPK.
"Ya, sebaiknya revisi UU KPK dan juga tax amnesty itu kan keinginan pemerintah. Sebaiknya diajukan oleh pemerintah, bukan oleh DPR (tapi) oleh pemerintah. Nanti kita kaji di DPR," ujar Fadli kepada wartawan seusai acara Kesyukuran 54 tahun Pondok Pesantren Darunnajah di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Sabtu (28/11/2015).
Menurutnya pihak pemerintahlah yang lebih membutuhkan revisi UU tersebut. Terkait inisiatif revisi dari DPR Fadli menyebut hal itu baru sebatas usulan.
"Kalau bicara pendapat seperti itu kan baru informal, belum menjadi keputusan. Masih bisa berubah," ujar Fadli.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.