JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Fadli Zon mempertanyakan tanggung jawab pemerintah, yang menyetujui bahwa revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi inisiatif DPR.
Dalam rapat kerja Badan Legislatif DPR dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, Jumat (27/11/2015), disepakati tentang bakal dikebutnya pembahasan revisi UU KPK. Yasonna juga menyetujui pengambilalihan inisiatif penyusunan RUU perubahan atas UU KPK oleh DPR.
Menurut Fadli, seharusnya revisi ini tetap menjadi inisiatif pemerintah karena sejak awal pemerintah menginginkan revisi itu.
"Kenapa pemerintah yang butuh, kok DPR yang harus mengambil inisiatif. Logikanya di mana?" kata Fadli di Jakarta, Sabtu (28/11/2015).
Fadli menilai bahwa pemerintah sudah melemparkan tanggung jawabnya kepada DPR. Dia khawatir jika diambil alih menjadi inisiatif DPR, justru DPR lah yang akan disalahkan hendak melemahkan KPK.
"Jangan nanti ini jadi inisiatif DPR kemudian ada perubahan atau penolakan lagi. Jadi bagusnya ini jadi inisiatif pemerintah," ucap Fadli.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra tersebut berkukuh bahwa revisi UU KPK ini seharusnya berasal dari inisiatif pemerintah, bukan dari DPR. Ia tidak ingin publik menyalahkan DPR jika terjadi permasalahan dalam revisi UU tersebut.
Menurut Fadli, keputusan yang menjadikan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR masih bisa berubah. Keputusan ini belum dibawa dan disahkan ke rapat paripurna.
Keputusan tersebut akan dibawa ke rapat Badan Musyawarah pada Senin (30/11/2015) dan ke rapat paripurna pada keesokan harinya. Revisi ditargetkan selesai sebelum masa sidang DPR selesai akhir Desember 2015.
"Nanti kita kaji lagi. Masih bisa berubah," kata Fadli.
Pada 23 Juni 2015, pemerintah dan DPR menyepakati bahwa revisi UU KPK masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2015 sebagai inisiatif pemerintah.
Pada 6 Oktober lalu, sebanyak 45 anggota DPR mengusulkan untuk mengambil alih inisiatif penyusunan RUU KPK.
Dalam usulannya, para anggota DPR itu menyertakan draf yang isinya dianggap melemahkan KPK. Contohnya, diatur bahwa masa kerja KPK hanya 12 tahun setelah UU diundangkan.
(Baca: Ini Alasan PDI-P Batasi Umur KPK Hanya 12 Tahun)
Draf itu juga mengatur batasan bahwa KPK hanya bisa menangani kasus dengan kerugian negara minimal Rp 50 miliar.
Kewenangan penyadapan KPK juga harus dilakukan melalui izin pengadilan. KPK juga diusulkan tak lagi menyelidik dan menyidik perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.
KPK juga nantinya akan memiliki kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Terakhir, akan dibentuk juga lembaga pengawas untuk mengawasi kinerja KPK.
(Baca: Rapat dengan DPR, KPK Minta Tak Lagi Dilemahkan)
Setelah rencana tersebut menuai kritik, pada 14 Oktober, pemerintah dan pimpinan DPR sepakat menunda pembahasan revisi UU KPK.
"Ya, sebaiknya revisi UU KPK dan juga tax amnesty itu kan keinginan pemerintah. Sebaiknya diajukan oleh pemerintah, bukan oleh DPR (tapi) oleh pemerintah. Nanti kita kaji di DPR," ujar Fadli kepada wartawan seusai acara Kesyukuran 54 tahun Pondok Pesantren Darunnajah di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Sabtu (28/11/2015).
Menurutnya pihak pemerintahlah yang lebih membutuhkan revisi UU tersebut. Terkait inisiatif revisi dari DPR Fadli menyebut hal itu baru sebatas usulan.
"Kalau bicara pendapat seperti itu kan baru informal, belum menjadi keputusan. Masih bisa berubah," ujar Fadli.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.