Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/11/2015, 18:00 WIB

Oleh: Gugun El Guyanie

JAKARTA, KOMPAS - Harapan publik nyaris pupus ketika Mahkamah Kehormatan Dewan DPR tidak mengedepankan substansi keadilan dalam memproses dugaan pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan Ketua DPR Setya Novanto.

Dorongan publik yang bergema ditujukan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena kasus ini menjual nama Presiden dan Wakil Presiden untuk keuntungan pribadi Setya Novanto dengan meminta saham dari PT Freeport Indonesia.

Sidang MKD kemarin terjebak pada persoalan teknis prosedural tentang alat bukti rekaman dan kedudukan hukum Sudirman Said selaku pengadu. Perdebatan artifisial ini muncul dari anggota MKD yang berasal dari fraksi-fraksi Koalisi Merah Putih. Ada beberapa titik lemah MKD, seperti diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Di manakah titik lemahnya, sehingga MKD berpotensi tersandera kepentingan politik fraksi dan koalisi di parlemen?

Sejak masih di bawah rezim UU No 27/2009 (UU MD3), yang saat itu bernama Badan Kehormatan, persoalan yang paling mendasar adalah mengenai susunan dan keanggotaan. Termasuk juga dalam UU MD3 saat ini (UU No 17/2014), yang menyatakan bahwa susunan dan keanggotaan MKD terdiri atas semua fraksi dengan memerhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi (Pasal 120).

Ternyata perubahan UU MD3 dari UU No 27/2009 menjadi UU No 17/2014 yang mengatur tentang Badan Kehormatan, yang berubah menjadi MKD materi muatannya sama. Padahal, perubahan UU MD3 yang menyangkut MKD sangat strategis dalam rangka menegakkan kehormatan dan martabat DPR sebagai wakil rakyat. Yang membedakan antara Badan Kehormatan dalam rezim UU No 27/2009 dengan MKD dalam rezim UU No 17/2014 hanya jumlah keanggotaannya.

Padahal, akar dari tidak independennya MKD bukan terletak pada jumlahnya, tetapi persoalan unsur fraksi yang selalu menyandera obyektivitas dan independensi. Penguatan kelembagaan MKD akan tercapai jika keanggotaannya independen. MKD yang memiliki fungsi sebagai penegak etik anggota parlemen, akan menghadapi konflik kepentingan ketika harus menghadapi pengaduan pelanggaran etik yang dilakukan oleh koleganya satu fraksi atau satu koalisi.Maka, MKD berpotensi mengambil keputusan yang tidak obyektif terkait dengan banyaknya pengaduan pelanggaran etik dari masyarakat atau konstituen maupun sesama anggota DPR.

Idealnya keanggotaan MKD selain dari unsur fraksi di DPR, unsur masyarakat harus dilibatkan dalam struktur anggota dan pimpinan MKD. Hal itu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan antara MKD dengan anggota DPR yang terlibat dalam pelanggaran etik. Untuk mencegah terjadinya rezim MKD, maka setiap setahun sekali diadakan pergantian keanggotaan dan pimpinan dalam rangka memperkuat independensi MKD.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com