Pemerintah harus hadir sebagai pemerintah. Ya, pemerintah, yang sadar dalam memimpin dan memerintah masing-masing pihak untuk bergerak menuju cita-cita bersama serta sejahtera secara berkesinambungan dan berkeadilan. Membiarkan deforestasi tanpa pengereman maksimum yang memungkinkan kesejahteraan tumbuh adalah tindakan fatal bagi jangka menengah dan panjang.
Pemerintah harus cakap mengemudi di jalur yang tak mudah ini. Ia serupa nakhoda, bukan pemandu sorak. Ia juga bukan pemaksa berbedil kekuasaan, apalagi penonton yang dibayar.
Dalam ketelanjuran "untaian zamrud" yang beralih rupa jadi "untaian gerabah" (tanah yang dibakar kegundulan), andaikan hutan adalah pakaian, maka saat ini kita telah kepalang kehilangan kemeja. Bertolak dari nurani yang mukhlis, oleh karenanya janganlah lagi mempertaruhkan secara bodoh celana sebagai penutup terakhir aurat kita.
Negara harus hadir dan berwibawa. Lebih dari itu, negara harus tahu persis ke mana haluan bahtera Indonesia ini akan diarahkan ke tujuan "Tanah Harapan" sesuai mufakatan bersama: mewujudkan pertumbuhan berkeadilan yang lebih mengamankan masa depan.
Heru Prasetyo
Pembina Idea (Institut Deliverologi Indonesia); Tenaga pengajar di SBM-ITB
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 September 2015, di halaman 7 dengan judul "Negara dalam Deforestasi".