Di sektor tenaga kerja, sebagian besar masyarakat masih menganggap sebelah mata kemampuan penyandang disabilitas. Padahal, tak sedikit penyandang disabilitas yang berkapasitas dan berkualitas.
Karena itu, penyusunan RUU Disabilitas semestinya menjadi momentum memperbaiki kekeliruan dengan mengubah paradigma belas kasihan dan ketidakmampuan menjadi paradigma yang memberdayakan sesuai dengan harkat dan martabatnya.
Diskriminasi positif
Perlakuan khusus terhadap penyandang disabilitas sebagaimana bunyi Pasal 41 dan 42 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia seharusnya menjadi dasar argumentasi pentingnya RUU Disabilitas mendorong kebijakan yang bersifat diskriminasi positif atau aksi afirmatif. Diskriminasi positif pada dasarnya adalah upaya menyejajarkan penyandang disabilitas yang cenderung tertinggal di banyak sektor, seperti pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan (perlindungan) hukum. Upaya afirmatif pada dasarnya sejalan dengan upaya pemberdayaan.
Ketertinggalan dalam konteks HAM terkait dengan kurang maksimalnya tanggung jawab negara (pemerintah) memenuhi dan melindungi hak disabilitas. Kebijakan kuota tenaga kerja khusus penyandang disabilitas merupakan salah satu contoh bentuk diskriminasi positif. Sistem kuota bertujuan agar penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama mengikuti prosedur perekrutan sesuai dengan kualifikasinya.
Demikian pula halnya di bidang pendidikan. Perlu perlakuan khusus agar penyandang disabilitas mendapatkan pendidikan sesuai minat dan bakatnya.
Kebijakan bersifat diskriminasi positif seharusnya juga diberlakukan pada sektor transportasi, khususnya penerbangan. Berbagai ketentuan dinilai memberatkan penyandang disabilitas untuk bepergian dengan pesawat.
Diskriminasi positif lainnya adalah penyediaan fasilitas umum bagi penyandang disabilitas, terutama di tempat-tempat hiburan dan rekreasi. Penyandang disabilitas juga berhak mendapatkan hiburan sebagaimana masyarakat lain.
Kebijakan diskriminasi positif ini dibutuhkan sehingga masyarakat sepenuhnya paham disabilitas. Jika kebijakan dan program yang ada sudah inklusif, dengan sendirinya kebijakan diskriminasi positif tereduksi.