Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RUU Penyandang Disabilitas

Kompas.com - 14/07/2015, 15:35 WIB

Oleh: Yossa Nainggolan

JAKARTA, KOMPAS - Sejumlah media menyoroti RUU Disabilitas yang tengah dibahas DPR karena masuk dalam program legislasi nasional 2015-2019.

Namun, pembahasan RUU  Disabilitas ini masih memprihatinkan. Dalam sidang Komisi VIII DPR (24/6), pembahasan RUU masih menggunakan paradigma lama yang menganggap penyandang disabilitas sebagai obyek pembangunan dan perlu dikasihani.

Ada beberapa hal prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam bahasan RUU ini. UU No 4/1997 tentang Penyandang Cacat saat ini masih berlaku dan dipastikan tak mengandung prinsip-prinsip yang diuraikan berikut ini.

RUU Disabilitas harus memuat prinsip yang menjamin terpenuhinya harkat dan martabat penyandang disabilitas sekaligus memberi kesempatan berkontribusi dalam pembangunan.

Jauhkan belas kasihan

Sedari awal motivasi RUU Disabilitas adalah menggantikan UU No 4/1997 yang kental dengan paradigma belas kasihan dan ketidakmampuan penyandang disabilitas. Paradigma ini diawali dari kekeliruan terminologi penyandang cacat dalam UU itu.

Cacat dalam kamus bahasa Indonesia secara umum diartikan sebagai sesuatu yang  ternoda dan berkekurangan yang membuat mutunya kurang baik. Akibat pengertian itu, stigma yang berkembang di masyarakat tentang penyandang disabilitas adalah segala sesuatu yang negatif.

Dalam bahasa kebijakan, stigma belas kasihan ini terimplementasi lewat program dengan nomenklatur bantuan sosial. Di sektor pendidikan, program perpustakaan keliling Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih menggunakan nomenklaturbantuan sosial untuk penyediaan perpustakaan keliling.

Setali tiga uang, di era pemerintahan lalu, Kementerian Sosial menggunakan nomenklatur bantuan sosial terkait program penyandang disabilitas. Namun, ada perubahan yang patut diapresiasi di Kementerian Sosial karena membuat Direktorat Jenderal  Rehabilitasi Sosial. Program bantuan sosial saat ini jadi bagian dari Ditjen Perlindungan dan Jaminan Sosial serta bersifat lebih umum.

Di sektor tenaga kerja, persyaratan kerja yang mencantumkan sehat jasmani dan rohani menjadi batu sandungan penyandang disabilitas. Kasus Wuri Handayani pada 2005 adalah satu dari ratusan kasus akibat penyandang disabilitas terganjal persyaratan. Wuri dianggap tak sehat jasmani karena menggunakan kursi roda ketika mendaftar menjadi calon pegawai negeri sipil di Pemkot Surabaya.

Di sektor tenaga kerja, sebagian besar masyarakat masih menganggap sebelah mata kemampuan penyandang disabilitas.  Padahal, tak sedikit penyandang disabilitas yang berkapasitas dan berkualitas.   

Karena itu, penyusunan RUU Disabilitas semestinya menjadi momentum memperbaiki kekeliruan dengan mengubah paradigma belas kasihan dan ketidakmampuan menjadi paradigma yang memberdayakan sesuai dengan harkat dan martabatnya.

Diskriminasi positif

Perlakuan khusus terhadap penyandang disabilitas sebagaimana bunyi Pasal 41 dan 42 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia seharusnya menjadi dasar  argumentasi pentingnya RUU Disabilitas mendorong kebijakan yang bersifat diskriminasi positif atau aksi afirmatif. Diskriminasi positif pada dasarnya adalah upaya menyejajarkan penyandang disabilitas yang cenderung tertinggal di banyak sektor, seperti pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan (perlindungan) hukum. Upaya afirmatif pada dasarnya sejalan dengan upaya pemberdayaan.

Ketertinggalan dalam konteks HAM terkait dengan kurang maksimalnya tanggung jawab negara (pemerintah) memenuhi dan melindungi hak disabilitas. Kebijakan kuota tenaga kerja khusus penyandang disabilitas merupakan salah satu contoh bentuk diskriminasi positif. Sistem kuota bertujuan agar penyandang disabilitas memiliki kesempatan yang sama mengikuti prosedur perekrutan sesuai dengan kualifikasinya.

Demikian pula halnya di bidang pendidikan. Perlu perlakuan khusus agar penyandang disabilitas mendapatkan pendidikan sesuai minat dan bakatnya.

Kebijakan bersifat diskriminasi positif seharusnya juga diberlakukan pada sektor transportasi, khususnya penerbangan. Berbagai ketentuan dinilai memberatkan penyandang disabilitas untuk bepergian dengan pesawat.

Diskriminasi positif lainnya adalah penyediaan fasilitas umum bagi penyandang disabilitas, terutama di tempat-tempat hiburan dan rekreasi. Penyandang disabilitas juga berhak mendapatkan hiburan sebagaimana masyarakat lain.

Kebijakan diskriminasi positif ini dibutuhkan sehingga masyarakat sepenuhnya paham disabilitas. Jika kebijakan dan program yang ada sudah inklusif, dengan sendirinya kebijakan diskriminasi positif tereduksi.

Keadilan

Rasa keadilan penyandang disabilitas di ranah hukum sering kali tidak terpenuhi.  Hal ini karena ada ketentuan yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang cenderung memosisikan penyandang disabilitas sebagai pihak yang tidak layak memberi keterangan atau cacat hukum.

Aktivis Sasana Integrasi dan Advokasi Difable (Sigab) Yogyakarta menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual di kalangan penyandang disabilitas cukup banyak, tetapi cenderung tidak terselesaikan. Kendala yang muncul di antaranya mulai dari ketidakmauan pihak keluarga melaporkan kasus hingga persepsi umum yang menganggap fungsi fisik penting sehingga penyandang disabilitas dianggap tidak layak secara fisik dan diposisikan sebagai bukan manusia seutuhnya. Ketidaksensitifan hukum ini tampak pada pasal kesaksian termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan KUHAP.

Selain itu, para penegak hukum di Indonesia juga telah terbiasa tekstual dan bergantung pada kedua ketentuan hukum tersebut. Akibatnya, di ruang-ruang pengadilan sering kesaksian korban disabilitas diabaikan karena dianggap tidak masuk dalam kategori kesaksian penuh atau cacat hukum. Alasannya, secara fisik mereka tidak mampu melihat, mendengar, dan mengalami.

Alhasil, semua pembuktian kejahatan seksual yang disampaikan oleh korban disabilitas justru diabaikan sebagaimana terungkap dalam kasus pemerkosaan siswa di Sukoharjo oleh guru pada 2013. Hakim menjatuhkan hukuman pidana kepada pelaku setelah mendengarkan keterangan dari saksi yang bukan disabilitas,  

RUU disabilitas semestinya bisa mengakomodasi kemungkinan keterlibatan penyandang disabilitas di ranah hukum. Hal tersebut sangat terkait dengan aspek perlindungan (hukum) dan pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas. Bentuk konkretnya perlu dibunyikan dalam RUU terkait penyediaan fasilitas berupa alat bantu selama proses pengadilan, seperti penyediaan pendamping dan penerjemah bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas rungu.

RUU disabilitas juga harus mengatur dengan jelas mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan. Konkretnya, mekanisme pengawasan bisa melalui pembentukan lembaga setingkat komisi nasional yang salah satu misinya adalah mengawasi dan mengevaluasi segala upaya (pemerintah) dalam rangka melindungi dan memenuhi hak-hak disabilitas. Komisi dimaksud harus independen dan bebas dari intervensi pihak mana pun.

Yossa Nainggolan
Peneliti Komnas HAM; Pemerhati Disabilitas

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "RUU Penyandang Disabilitas".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

PKB Siapkan Ida Fauziyah Jadi Kandidat Cagub Jakarta, Bukan Anies

Nasional
PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

PKB Akui Pertimbangkan Airin Jadi Bacagub di Pilkada Banten 2024

Nasional
Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Bantah Dapat Jatah 4 Menteri dari Prabowo, PAN: Jangan Tanggung-tanggung, 6 Lebih Masuk Akal

Nasional
Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Kisah Runiti Tegar Berhaji meski Suami Meninggal di Embarkasi

Nasional
Jokowi Mengaku Tak Bahas Rencana Pertemuan dengan Megawati Saat Bertemu Puan di Bali

Jokowi Mengaku Tak Bahas Rencana Pertemuan dengan Megawati Saat Bertemu Puan di Bali

Nasional
Soal Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Menkes Sebut WHO Sudah Ingatkan Risikonya

Soal Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Menkes Sebut WHO Sudah Ingatkan Risikonya

Nasional
Kemendikbud Akan Turun Periksa Kenaikan UKT, Komisi X DPR: Semoga Bisa Jawab Kegelisahan Mahasiswa

Kemendikbud Akan Turun Periksa Kenaikan UKT, Komisi X DPR: Semoga Bisa Jawab Kegelisahan Mahasiswa

Nasional
TII Serahkan Petisi Pansel KPK, Presiden Jokowi Didesak Pilih Sosok Berintegritas

TII Serahkan Petisi Pansel KPK, Presiden Jokowi Didesak Pilih Sosok Berintegritas

Nasional
Dilaporkan Nurul Ghufron ke Polisi, Ketua Dewas KPK: Ini Tidak Mengenakkan

Dilaporkan Nurul Ghufron ke Polisi, Ketua Dewas KPK: Ini Tidak Mengenakkan

Nasional
Tak Takut Dilaporkan ke Bareskrim, Dewas KPK: Orang Sudah Tua, Mau Diapain Lagi Sih?

Tak Takut Dilaporkan ke Bareskrim, Dewas KPK: Orang Sudah Tua, Mau Diapain Lagi Sih?

Nasional
Kemendikbud Kini Sebut Pendidikan Tinggi Penting, Janji Buka Akses Luas untuk Publik

Kemendikbud Kini Sebut Pendidikan Tinggi Penting, Janji Buka Akses Luas untuk Publik

Nasional
26 Tahun Reformasi, Aktivis 98 Pajang Nisan Peristiwa dan Nama Korban Pelanggaran HAM

26 Tahun Reformasi, Aktivis 98 Pajang Nisan Peristiwa dan Nama Korban Pelanggaran HAM

Nasional
Permohonan Dinilai Kabur, MK Tak Dapat Terima Gugatan Gerindra Terkait Dapil Jabar 9

Permohonan Dinilai Kabur, MK Tak Dapat Terima Gugatan Gerindra Terkait Dapil Jabar 9

Nasional
Dewas KPK Heran Dilaporkan Ghufron ke Bareskrim Polri

Dewas KPK Heran Dilaporkan Ghufron ke Bareskrim Polri

Nasional
Wapres Kunker ke Mamuju, Saksikan Pengukuhan KDEKS Sulawesi Barat

Wapres Kunker ke Mamuju, Saksikan Pengukuhan KDEKS Sulawesi Barat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com