Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi Didesak Terbitkan Inpres untuk Usut Tujuh Kasus HAM

Kompas.com - 05/06/2015, 12:38 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com
- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menerbitkan Instruksi Presiden guna memproses hukum kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu.

"Kontras meminta Presiden untuk segera mengeluarkan Instruksi Presiden kepada Jaksa Agung untuk penyidikan dan penuntutan tujuh kasus yang telah selesai tahap penyelidikan oleh Komnas HAM," kata Koordinator Badan Pekerja Kontras Haris Azhar dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (5/6/2015), seperti dikutip Antara.

Selain itu, Kontras juga menghendaki Presiden Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus masa lalu.

Kontras juga meminta Jaksa Agung dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menghentikan praktik politik di luar kewenangan hukumnya.

"Sebagaimana diketahui, dalam UU tentang Kejaksaan Agung dan UU Pengadilan Hak Asasi Manusia, dijelaskan bahwa jika ditemukan adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat, maka perlu dilakukan penyelidikan dan peyidikan sebelum dilakukan penuntutan dan pengadilannya," katanya.

Untuk itu, ujar dia, kedua tugas tersebut diemban oleh Komnas HAM untuk membuktikan ada peristiwa pelanggaran HAM. Ia juga meminta Jaksa Agung dan Komnas HAM fokus mencari upaya tindak lanjut, bukan fokus saling mengembalikan berkas di antara keduanya.

"Masyarakat perlu mengetahui dan diingatkan kembali bahwa telah terjadi enam kali pengembalian berkas antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM," ujarnya.

Kontras menginginkan Presiden mengutamakan korban dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan memastikan hak-hak para korban terpenuhi, yaitu hak untuk mengetahui kebenaran, hak untuk mendapatkan keadilan dan hak untuk mendapatkan perbaikan hidup.

Kontras juga menghendaki Presiden membentuk Komite Kepresidenan untuk menjembatani kebuntuan proses hukum antara Kejaksaan Agung dengan Komnas HAM. Komite ini juga dinilai harus bersifat independen dan langsung berada di bawah Presiden.

Selain itu, diinginkan pula ada pernyataan resmi kenegaraan dalam bentuk pengakuan dan permohonan maaf negara terhadap korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Permintaan maaf ini harus ditindaklanjuti dengan sejumlah tindakan hukum sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu membentuk Pengadilan HAM ad hoc, Komite Kepresidenan, dan memastikan hak-hak para korban terpenuhi," tutur Haris.

Kejaksaan Agung sebelumnya menilai rekonsiliasi merupakan salah satu opsi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat mengingat kasusnya sudah berlangsung lama.

"Karena itu, seperti kasus 1965, saksi sulit dicari, buktinya juga seperti itu, maka kami tawarkan untuk diselesaikan pendekatan non yudisial, penyelesaian di luar jalur proses hukum, melalui pendekatan rekonsiliasi," kata Prasetyo di Jakarta, Jumat (22/5).

Rekonsiliasi itu, kata Prasetyo, nantinya akan ditawarkan kepada Presiden. Namun, tentunya ada tahapan atau poin rekonsiliasi. (baca: Dibentuk Komite Rekonsiliasi Kasus HAM Berat Masa Lalu)

Kejaksaan Agung menyatakan penyelesaian tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan di antaranya peristiwa Talangsari, Lampung, tidak tertutup kemungkinan melalui proses rekonsiliasi.

"Secara nonyudisial melalui renkonsiliasi. Kita ingin ke luar dari belenggu penyelidikan dan penyidikan yang ujung-ujungnya saling menyalahkan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Tony Tribagus Spontana di Jakarta, Rabu (20/5).

Keenam kasus pelanggaran HAM berat lainnya, yakni, peristiwa Trisaksi, Semanggi 1 dan 2, Wasior, Papua, kasus tahun 1965, dan penembakan misterius (petrus).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com