Jelaslah, ke depan, kerja-kerja Menteri Pertahanan, Panglima TNI dan jajarannya dalam memenuhi semua indikator tersebut sangat berat dan menantang. Sulit memang, tetapi bukan berarti tidak bisa. Akan tetapi, kalau TNI serius, semua indikator itu bisa sukses diraih. Lebih jauh tentu ini akan mentransformasikan postur pengelolaan TNI menjadi lebih partisipatif, transparan, dan akuntabel. Kasus korupsi yang melibatkan Djaja Suparman sebenarnya tidak perlu terjadi kalau TNI sudah memiliki tata kelola aset yang transparan dan akuntabel. Demikian juga dugaan keterlibatan oknum TNI dalam membeking kejahatan dan korupsi sumber daya alam, khususnya pertambangan dan perdagangan kayu ilegal, tidak akan muncul kalau TNI lebih transparan.
Bangun kontrol politik dan publik
Membentuk ZI dan BWK memang harus kalau TNI ingin berwujud menjadi institusi yang bersih dan bebas dari korupsi. Namun, itu tidak cukup. Sebenarnya zonasi kawasan berintegritas dan kawasan bebas korupsi itu satu pendekatan partikular. Kita tak mungkin mencegah dan memberantas korupsi secara menyeluruh dan sekaligus karena itulah zonasi dilakukan. Upaya mencegah dan memberantas korupsi dimulai dari zona-zona kecil. Kalau zona-zona kecil berintegritas dan bebas korupsi tersebut sukses terbentuk, diharapkan ada efek menular sehingga zona-zona lain dalam satu institusi juga berintegritas dan bebas dari korupsi.
Karena itulah upaya pembentukan ZI dan WBK harus dibarengi upaya lain. Pertama, meningkatkan kemampuan parlemen melakukan kontrol politik terhadap kebijakan, perilaku, tata kelola, dan anggaran TNI. Sebab, tingginya risiko korupsi di institusi militer terkait dengan lemahnya kontrol politik dari parlemen. DPR baru hasil Pemilu Legislatif 2014 harus mengambil langkah untuk memperkuat kontrol politik ini. Kalau DPR baru nanti sukses melakukan peran dan fungsi ini, itu pertanda membaiknya supremasi sipil dalam lanskap sistem demokrasi kita.
Kedua, tingginya risiko korupsi di tubuh TNI juga terkait dengan masih lemahnya kontrol publik. Di sinilah kita merasakan pentingnya memperbaiki dan memperkuat efektivitas kontrol publik. Meningkatkan keterlibatan dan kemampuan organisasi masyarakat sipil seperti LSM, media massa, atau organisasi profesi dalam memantau kebijakan dan tata kelola TNI menjadi penting. Termasuk di antaranya adalah memantau dan menagih implementasi pembentukan ZI dan WBK yang baru dideklarasikan dan ditandatangani Panglima TNI. Mangkrak-nya berbagai deklarasi ditengarai akibat absennya pemantau dan penagih dari kalangan organisasi masyarakat sipil.
Kalau ZI dan WBK sukses terbentuk, kontrol politik dari parlemen plus kontrol publik kuat dan efektif, kita patut optimistis akan mendapati TNI yang bersih dan bebas dari korupsi. Dengan demikian, optimalisasi keamanan warga, kesejahteraan prajurit, efisiensi dan efektivitas anggaran , serta kedaulatan negara akan relatif terjamin.
Dedi Haryadi
Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia