Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tugas Sejarah Presiden Baru

Kompas.com - 03/02/2014, 08:48 WIB

Keenam, reforma agraria dengan determinasi tinggi. Mustahil berharap triple-track strategy: pro-pertumbuhan, pro- pembukaan kesempatan kerja, dan pro- pengentasan dari kemiskinan berhasil tanpa  konsolidasi dan redistribusi lahan secara adil dan produktif.  Terdapat 7,5 juta hektar tanah telantar di seluruh Indonesia yang selama ini dibiarkan menganggur, tumpang tindih penguasaannya. Belajar dari sukses pembangunan pertanian di negara mana pun, reforma agraria selalu menjadi hulu pemecahan masalah.  

Ketujuh, mengakhiri paradoks TKI dan ketimpangan pemilikan aset, antara remitansi dan repatriasi.  Jumlah TKI melonjak 6,5 juta orang memberi pesan tegas semakin menyempitnya peluang kerja, analog  dengan tingginya angka pengangguran terbuka. Selama acuannya penghasil devisa (seperti Banglades dan Filipina), kita akan terus dihadapkan  ”buah simalakama” dari perdagangan legal manusia berketerampilan terbatas ini.

Struktur penguasaan aset sumber daya alam (pertambangan dan perkebunan) juga semakin memperlihatkan berkuasanya dominasi asing. Inilah salah satu ironi terbesar negeri ini: rakyatnya berduyun-duyun mencari nafkah ke luar negeri, sementara aset produktifnya dikuasai para pemodal besar. Ini mengingatkan pleidoi Bung Karno di depan pengadilan kolonial (”Indonesia Menggugat”, Bandung, 18/8/1930): ”Penduduk Bumiputera dibikin hanya sebagai bangsa yang terdiri dari kaum buruh belaka dan menjadi buruh di antara bangsa-bangsa.”  

Kedelapan,  pembangunan infrastruktur dengan pola arisan daerah. Akibat APBN terbebani  bermacam subsidi dan pembayaran utang, kapasitas pemerintah semakin terbatas dalam membiayai pembangunan infrastruktur.

Salah satu alternatifnya dengan pola arisan antarwilayah, termasuk menggandeng swasta. Model ini menjanjikan terutama untuk menjembatani kesenjangan pembangunan infrastruktur antarwilayah, keterbatasan sumber daya lokal, dan sinergi pembentukan ”titik-titik api” pertumbuhan ekonomi.

Sejak inisiasi proyek Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu di sejumlah daerah  di era Orde Baru sampai Infrastructure Summit 2005, realisasi pembangunan prasarana strategis bergerak lambat. Kawasan Indonesia barat melaju kian jauh meninggalkan Indonesia timur sehingga melebarkan disparitas harga, ketertinggalan, kelambatan arus barang dan jasa.

Kesembilan, merawat dan memperkuat kebinekaan. Eksistensi keberagaman terus mendapatkan rongrongan terorisme, gerakan sektarian, eksklusivisme atas nama agama-kepentingan-kedaerahan, intoleransi, berkecamuknya bermacam konflik ekonomi dan adat.  Kemampuan mengelola ”perbedaan dalam persatuan” yang terus merosot menunjukkan negara dan masyarakat abai menjaga kemajemukan sebagai omnipresent, suatu kenyataan tak terbantahkan.      

Kesepuluh, menyusun tim kabinet mumpuni. Selama ini, harapan tinggi digantungkan kepada figur presiden. Indonesia terlalu besar, luas, dan multidimensi untuk  ditangani seseorang, sekaliber apa pun.  Realistisnya, kita memerlukan segugus pemimpin kredibel—bukan sekadar sekumpulan pejabat tinggi—untuk melansir perubahan besar. Meski penunjukan menteri merupakan hak prerogatif presiden, publik kiranya dapat aktif berperan menetapkan kriteria berdasarkan tantangan dan kebutuhan situasi.  Keterlibatan publik (akademisi, praktisi, profesional) bisa menjadi rujukan, penguat seleksi kapabilitas, dan integritas kandidat.  Ini juga dapat diartikan sebagai bentuk dukungan nonpolitik, sekaligus watchdog bagi kinerja kabinet. 
                 
Mengobarkan semangat

Kita butuh banyak figur dengan karakteristik enabler bukan provider, leader bukan dealer, pemimpin bukan pembesar.  Negarawan otentik dengan visi melenting ke depan, bukan kontestan yang menjual keajaiban. Konfigurasi tantangan dan beban negara menghendaki ekspresi keteguhan sikap, keputusan, dan tindakan yang menyatukan visi besar bersama.  

Kita tidak memilih seorang presiden biasa yang mudah berjanji, tetapi belum cukup memberi di lapangan pengabdian kemasyarakatan dan kebangsaan. Perlu banyak tokoh teladan yang dapat membangkitkan tekad untuk memecahkan begitu banyak kebuntuan, bersendikan misi kuat, terukur, dan terencana. Figur-figur dengan dukungan mencukupi dari berbagai kalangan, mampu merangkum cita-cita bangsa, dan mengobarkan semangat dan hasrat besar agar Indonesia meraih martabat semestinya.

Kita butuh para pemimpin yang dapat meningkatkan kapasitas bangsa menggapai daya saing tinggi, tetapi sekaligus mengembangkan daya sanding kohesif. Pemimpin yang paham mengendalikan kompetisi yang sering kali memakan korban pihak paling lemah, sekaligus kerja sama untuk saling berbagi ruang dan peluang.

Tokoh yang hendak bermetamorfosis jadi pemimpin sejati sepatutnya mengerti makna konfesi, tugas utama seorang manusia pilihan sebagai representasi makhluk mulia yang sukacita mengusung ”titipan” kebajikan-kebajikan besar. Bagaimana ia menunaikan tugas itu, menunjukkan sejauh mana derajat  konfesinya.

SUWIDI TONO, Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com