Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mau Awet Miskin? Di-BLSM Aja

Kompas.com - 05/07/2013, 14:21 WIB
Jodhi Yudono

Penulis

Nah, jika melihat pada syarat nomor 14, kita pun bertanya-tanya, lantas siapakah mereka yang antre dengan berkendara motor dan di leher atau pergelangan tangannya terikat kalung atau gelang emas?

"Mungkin saja mereka menyewa ojek," ucap Kokom saat mendengar cerita Juha.
"Mungkin juga, atau mungkin juga mereka diantar oleh saudara-saudaranya yang memiliki motor. Lah, tapi yang pakai kalung emas itu gimana?" tanya Juha.
"Mungkin kalung pinjaman, Bang," Kokom menjawab sekenanya.
"Ah elo Kom, ngapain mereka pake malu-malu segala pas kalungnya disorot kamera TV?"
"Iye sih Bang. Trus kenapa mereka mau menerima uang bantuan itu ya, Bang?"
"Kalau benar mereka memiliki motor, memiliki perhiasan emas, tapi masih mau menerima bantuan, berarti mereka masuk ke golongan orang-orang serakah."
"Iye Bang, amit-amit dah. Bukannya lebih baik kita memberi ketimbang diberi yak?"
"Tapi bukan salah mereka juga kali, Bang. Salah yang memasukkan mereka ke golongan orang miskin."
"Iya Kom, dan konon bukan cuma salah sasaran kayak orang-orang bermotor dan berkalung itu, tapi banyak penerima BLSM yang sudah meninggal, tidak dikenal, dan memiliki alamat yang tidak jelas. Di Yogyakarta, ada 527 Kartu Pengendali Sosial (KPS) yang gagal diantarkan."
"Duh, kok bisa parah gitu ya, Bang?"

Juha cuma tersenyum kecut. Dalam diam, Juha pun mulai curiga, ini semua pasti terjadi lantaran kesalahan data yang tidak tepat, sehingga membuat distribusi BLSM menjadi salah sasaran. Maka, tak heran jika yang antre adalah mereka yang berkendara motor dan berhiaskan emas.

Hmmm... soal data-mendata, rasanya kita memang selalu kacau. Tak cuma urusan BLSM saja, urusan lainnya yang kerap kisruh gara-gara data yang salah adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada tiap pemilu, pilpres, dan pilkada. Ujung dari persoalan ini pastilah lantaran mereka yang memberi perintah untuk menghimpun data, mengumpulkan, dan menyampaikan data adalah manusia-manusia tidak beramanah, tidak bersungguh-sungguh, dan jauh dari yang disebut bertanggung jawab.

"Tapi, andaipun salah data, kenapakah mereka yang mampu secara ekonomi masih juga mau menerima bantuan," kata Juha dalam hati.

Juha memandangi wajah istrinya. Ada rasa sesal di dalam hatinya, kenapakah dirinya suka menyeret Kokom ke dalam persoalan-persoalan pelik semacam BLSM ini. Barangkali sudah nasib Kokom menjadi istri seorang wartawan sehingga tanpa disadari kerap terlibat dalam berbagai perbincangan yang sedang aktual.

Untunglah Kokom jenis isteri yang mau mengerti pekerjaan suami. Sehingga, kadang justru Kokom yang memberikan informasi untuk bahan tulisan Juha. Misalnya tentang harga kebutuhan pokok, tentang berita yang sedang hangat di televisi. Seperti soal harga jengkol dan pete yang melambung tinggi tempo hari, misalnya.

"Tapi kenapa mereka enggak malu menerima bantuan itu ya, Bang?" suara Kokom mengejutkan Juha yang sedang melamun.
"Karena mereka mencintai harta secara berlebihan, sampai-sampai menutupi mata hati mereka untuk melihat orang lain yang lebih berhak menerima bantuan itu."
"Kalau dituruti sifat serakah itu pasti kagak ada habisnya ya, Bang?"
"Iya, dan bikin orang jadi terbelenggu. Maunya cari materi melulu dan lupa kalau di dalam harta yang dia peroleh ada juga hak orang lain."
"Emang orang rakus itu pasti kaya ya, Bang?"
"Belum tentu. Bahkan banyak di antaranya yang kelaparan lantaran tidak pernah puas dan merasa kekurangan terus."
"Lantas kenapa mereka rakus?"
"Mungkin karena mereka cemas akan kelaparan, lalu mati."
"Ada enggak sih obatnya biar kita kagak jadi orang kikir?"
"Tentu ada, Kom."
"Kasih tau dong, Bang."
"Mmmm... kasih tau enggak ya?" canda Juha.
"Iiih... Abang genit."
"Yang pertama, yakinkan kepada diri bahwa hakikatnya kita tak punya apa-apa, semua yang ada pada diri kita itu hanya titipan Tuhan yang sewaktu-waktu bisa diambil kapan saja."
"Trus apa lagi?"
"Selanjutnya kita mesti banyak bersyukur."
"Apa lagi?"
"Mau berbagi."
"Lalu?"
"Berdoalah agar kita dihindarkan dari sifat kikir."

Bibir Kokom tampak komat-kamit. Barangkali dia sedang memohon kepada Tuhan agar dirinya sekeluarga dijauhkan dari sifat kikir.

"Kalau dipikir-pikir, bener kata Abang...."
"Kata yang mana, Kom?"
"Ntu, yang abang bilang, 'Miskin itu bukanlah karena ketiadaan harta, tapi keengganan untuk berbagi'."
"Iya Kom, biar kata kita hidup sederhana, tapi hidup kita rasanya sedemikian kaya, sebab dari hari ke hari kita selalu berbagi. Berbagi apa saja, tak melulu harta. Bisa juga tenaga, pikiran, atau bahkan berbagi kata-kata yang baik."
"Bagi senyum juga boleh ya, Bang?"
"Boleh, tapi jangan kegenitan, ntar salah-salah ada yang ke-ge-er-an."
"Ih, si Abang, cemburu aja..."
"Itu karena Abang I love you, tahu?"

Sepasang suami istri itu pun bersitatap dengan mesra.

"Omong-omong, Abang setuju enggak sih sama BLSM?"
"Enggak. Kagak mendidik orang untuk mandiri dan berjuang dalam hidup."
"Iye Bang, aye setuju."
"Kecuali...."
"Kecuali apa Bang?"
"Kecuali kalau kita mau awet miskin, ya di-BLSM aja."

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com