Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mau Awet Miskin? Di-BLSM Aja

Kompas.com - 05/07/2013, 14:21 WIB
Jodhi Yudono

Penulis

Catatan Kaki Jodhi Yudono

Status yang pernah saya tulis di wall Facebook saya rasanya menemukan kebenarannya belakangan ini. "Miskin itu bukanlah karena ketiadaan harta, melainkan karena keengganan untuk berbagi."

Betapa tidak, jika mereka yang antre hendak mengambil bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) adalah dari golongan yang seharusnya memberi bantuan kepada sesama yang masih membutuhkan bantuan. Lihatlah, di kantor-kantor pos, atau juga di layar kaca anda,  selain jajaran motor milik para penerima BLSM yang memadati area kantor pos, ada di antara mereka juga yang mengenakan perhiasan. Lantas, di antara orang yang mengenakan perhiasan berupa kalung atau gelang emas itu, lantaran disorot kamera televisi, mereka pun lantas malu-malu menyembunyikannya di balik baju.

Fakta ini sungguh sebuah antitesis dari bayangan saya mengenai kemiskinan. Sebelum bantuan itu dibagikan, sempat juga terlintas di pikiran saya, tentu mereka yang menerima bantuan adalah orang-orang miskin yang tak berpunya harta lebih. Profil mereka di otak saya adalah masyarakat yang kesusahan makan dan tak memiliki sarana transportasi sendiri kecuali kedua kakinya dan juga angkutan umum untuk membawa dirinya pergi ke mana-mana.

Jangankan memiliki kendaraan bermotor yang memerlukan biaya perawatan dan butuh BBM yang tak sedikit, untuk makan saja repot. Itulah bayangan saya tentang warga miskin.

Maklumlah, bukankah selama ini kita memahami kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan yang disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Di antara alat pemenuh kebutuhan dasar itu ya motor yang kini dipergunakan oleh para penerima BLSM.

Begitulah, gambaran kemiskinan di kepala saya mendadak berantakan demi melihat kemacetan yang saya hadapi di daerah Karang Tengah, Ciledug, Tangerang, saat awal pembagian BLSM. Kemacetan itu bukanlah antrean warga miskin yang dengan mata kosong memenuhi jalan, melainkan lantaran parkirnya ratusan motor di dua sisi jalan saat berlangsung pembagian BLSM hari pertama di daerah tersebut, 27 Juni 2013 lalu.

Ya, ya... sepenuhnya saya maklum, bahwa di dalam kehidupan pastilah ada warga miskin dalam arti sesungguhnya. Adalah mereka yang memang tak memiliki pekerjaan untuk memenuhi hajat dasar dalam kehidupan, berupa makan, minum,, dan tempat berteduh. Dan, pemerintah mencatat ada 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS) yang layak menerima kucuran BLSM ini, atau jumlahnya sekitar 62 juta hingga 65 juta jiwa.

"Itu berarti hampir 30 persen dari jumlah penduduk Indonesia," jelas Menko Kesra Agung Laksono seusai rapat di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (8/5/2013).

Sedemikian banyaknya penduduk miskin yang diitung oleh pemerintah, sebagian memang benar-benar miskin, tapi sebagian lainnya adalah orang-orang yang antre dengan berkendara motor dan juga dengan perhiasan kalung emas di lehernya.

Entahlah bagaimana cara mereka memetakan warga yang miskin itu.

Kawan saya, Dimas Mukhlis, di dalam akun Facebook-nya menulis begini, "BLSM , lagi-lagi bikin kisruh dan kegaduhan sosial di masyarakat, banyak orang mampu menerima BLSM mulai dari lurah, pensiunan, sampai juragan batik yang mempunyai 2 mobil dan berumah mewah. Sementara banyak warga miskin yang sudah jompo tidak terima apa-apa. Terus ke mana saja selama ini Pemerintah bekerja? Data orang miskin kok diambilkan data orang miskin 3 tahun yang lalu dari BPS, terus apa gunanya pemerintah mempunyai RT, RW, dan lurah tidak diajak rembugan tentang warganya yg miskin? Inilah bukti pemerintah selama ini telah buta mata sekaligus buta hati tentang warganya."

Seperti Dimas Mukhlis yang galau dengan pembagian BLSM yang tak tepat sasaran, Juha pun merasai kecemasan atas masa depan bangsa ini. Menurutnya, BLSM bukan saja menghina kemanusiaan kita, melainkan juga mengajari orang untuk selalu tergantung pada pemberian serta mematikan daya hidup.

Warta Kota/Henry Lopulalan Warga berunjuk rasa menuntut pengawasan penyaluran bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (23/6/2013). Pengunjuk rasa menilai BLSM yang disalurkan selama empat bulan tersebut rawan diselewengkan dan dikorupsi dan jadi konsumsi politik.
Padahal, jika kita mengacu pada kriteria orang miskin versi pemerintah yang mengacu pada Badan Pusat Statistik (BPS), setidaknya ada 14 syarat seseorang disebut sebagai warga miskin.

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 meter persegi untuk masing-masing anggota keluarga.
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah, bambu, kayu berkualitas rendah.
3. Jenis dinding bangunan tempat tinggal terbuat dari bambu, rumbia, kayu berkualitas rendah.
4. Fasilitas jamban tidak ada, atau ada tetapi dimiliki secara bersama-sama dengan keluarga lain.
5. Sumber air untuk minum/memasak berasal dari sumur/mata air tak terlindungi, air sungai, danau, atau air hujan.
6. Sumber penerangan di rumah bukan listrik.
7. Bahan bakar yang digunakan memasak berasal dari kayu bakar, arang, atau minyak tanah.
8. Dalam seminggu tidak pernah mengonsumsi daging, susu, atau hanya sekali dalam seminggu.
9. Dalam setahun paling tidak hanya mampu membeli pakaian baru satu stel.
10. Makan dalam sehari hanya satu kali atau dua kali.
11. Tidak mampu membayar anggota keluarga berobat ke puskesmas atau poliklinik.
12. Pekerjaan utama kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan setengah hektar, buruh tani, kuli bangunan, tukang batu, tukang becak, pemulung, atau pekerja informal lainnya dengan pendapatan maksimal Rp600 ribu per bulan.
13. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala rumah tangga bersangkutan tidak lebih dari SD.
14. Tidak memiliki harta senilai Rp 500.000, seperti tabungan, perhiasan emas, TV berwarna, ternak, sepeda motor (kredit/non-kredit), kapal motor, tanah, atau barang modal lainnya.

Nah, jika melihat pada syarat nomor 14, kita pun bertanya-tanya, lantas siapakah mereka yang antre dengan berkendara motor dan di leher atau pergelangan tangannya terikat kalung atau gelang emas?

"Mungkin saja mereka menyewa ojek," ucap Kokom saat mendengar cerita Juha.
"Mungkin juga, atau mungkin juga mereka diantar oleh saudara-saudaranya yang memiliki motor. Lah, tapi yang pakai kalung emas itu gimana?" tanya Juha.
"Mungkin kalung pinjaman, Bang," Kokom menjawab sekenanya.
"Ah elo Kom, ngapain mereka pake malu-malu segala pas kalungnya disorot kamera TV?"
"Iye sih Bang. Trus kenapa mereka mau menerima uang bantuan itu ya, Bang?"
"Kalau benar mereka memiliki motor, memiliki perhiasan emas, tapi masih mau menerima bantuan, berarti mereka masuk ke golongan orang-orang serakah."
"Iye Bang, amit-amit dah. Bukannya lebih baik kita memberi ketimbang diberi yak?"
"Tapi bukan salah mereka juga kali, Bang. Salah yang memasukkan mereka ke golongan orang miskin."
"Iya Kom, dan konon bukan cuma salah sasaran kayak orang-orang bermotor dan berkalung itu, tapi banyak penerima BLSM yang sudah meninggal, tidak dikenal, dan memiliki alamat yang tidak jelas. Di Yogyakarta, ada 527 Kartu Pengendali Sosial (KPS) yang gagal diantarkan."
"Duh, kok bisa parah gitu ya, Bang?"

Juha cuma tersenyum kecut. Dalam diam, Juha pun mulai curiga, ini semua pasti terjadi lantaran kesalahan data yang tidak tepat, sehingga membuat distribusi BLSM menjadi salah sasaran. Maka, tak heran jika yang antre adalah mereka yang berkendara motor dan berhiaskan emas.

Hmmm... soal data-mendata, rasanya kita memang selalu kacau. Tak cuma urusan BLSM saja, urusan lainnya yang kerap kisruh gara-gara data yang salah adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada tiap pemilu, pilpres, dan pilkada. Ujung dari persoalan ini pastilah lantaran mereka yang memberi perintah untuk menghimpun data, mengumpulkan, dan menyampaikan data adalah manusia-manusia tidak beramanah, tidak bersungguh-sungguh, dan jauh dari yang disebut bertanggung jawab.

"Tapi, andaipun salah data, kenapakah mereka yang mampu secara ekonomi masih juga mau menerima bantuan," kata Juha dalam hati.

Juha memandangi wajah istrinya. Ada rasa sesal di dalam hatinya, kenapakah dirinya suka menyeret Kokom ke dalam persoalan-persoalan pelik semacam BLSM ini. Barangkali sudah nasib Kokom menjadi istri seorang wartawan sehingga tanpa disadari kerap terlibat dalam berbagai perbincangan yang sedang aktual.

Untunglah Kokom jenis isteri yang mau mengerti pekerjaan suami. Sehingga, kadang justru Kokom yang memberikan informasi untuk bahan tulisan Juha. Misalnya tentang harga kebutuhan pokok, tentang berita yang sedang hangat di televisi. Seperti soal harga jengkol dan pete yang melambung tinggi tempo hari, misalnya.

"Tapi kenapa mereka enggak malu menerima bantuan itu ya, Bang?" suara Kokom mengejutkan Juha yang sedang melamun.
"Karena mereka mencintai harta secara berlebihan, sampai-sampai menutupi mata hati mereka untuk melihat orang lain yang lebih berhak menerima bantuan itu."
"Kalau dituruti sifat serakah itu pasti kagak ada habisnya ya, Bang?"
"Iya, dan bikin orang jadi terbelenggu. Maunya cari materi melulu dan lupa kalau di dalam harta yang dia peroleh ada juga hak orang lain."
"Emang orang rakus itu pasti kaya ya, Bang?"
"Belum tentu. Bahkan banyak di antaranya yang kelaparan lantaran tidak pernah puas dan merasa kekurangan terus."
"Lantas kenapa mereka rakus?"
"Mungkin karena mereka cemas akan kelaparan, lalu mati."
"Ada enggak sih obatnya biar kita kagak jadi orang kikir?"
"Tentu ada, Kom."
"Kasih tau dong, Bang."
"Mmmm... kasih tau enggak ya?" canda Juha.
"Iiih... Abang genit."
"Yang pertama, yakinkan kepada diri bahwa hakikatnya kita tak punya apa-apa, semua yang ada pada diri kita itu hanya titipan Tuhan yang sewaktu-waktu bisa diambil kapan saja."
"Trus apa lagi?"
"Selanjutnya kita mesti banyak bersyukur."
"Apa lagi?"
"Mau berbagi."
"Lalu?"
"Berdoalah agar kita dihindarkan dari sifat kikir."

Bibir Kokom tampak komat-kamit. Barangkali dia sedang memohon kepada Tuhan agar dirinya sekeluarga dijauhkan dari sifat kikir.

"Kalau dipikir-pikir, bener kata Abang...."
"Kata yang mana, Kom?"
"Ntu, yang abang bilang, 'Miskin itu bukanlah karena ketiadaan harta, tapi keengganan untuk berbagi'."
"Iya Kom, biar kata kita hidup sederhana, tapi hidup kita rasanya sedemikian kaya, sebab dari hari ke hari kita selalu berbagi. Berbagi apa saja, tak melulu harta. Bisa juga tenaga, pikiran, atau bahkan berbagi kata-kata yang baik."
"Bagi senyum juga boleh ya, Bang?"
"Boleh, tapi jangan kegenitan, ntar salah-salah ada yang ke-ge-er-an."
"Ih, si Abang, cemburu aja..."
"Itu karena Abang I love you, tahu?"

Sepasang suami istri itu pun bersitatap dengan mesra.

"Omong-omong, Abang setuju enggak sih sama BLSM?"
"Enggak. Kagak mendidik orang untuk mandiri dan berjuang dalam hidup."
"Iye Bang, aye setuju."
"Kecuali...."
"Kecuali apa Bang?"
"Kecuali kalau kita mau awet miskin, ya di-BLSM aja."

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

    Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

    Nasional
    Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

    Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

    Nasional
    Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

    Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

    Nasional
    Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

    Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

    Nasional
    Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

    Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

    Nasional
    JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang 'Toxic'

    JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang "Toxic"

    Nasional
    Tanggapi Luhut soal Orang 'Toxic', Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

    Tanggapi Luhut soal Orang "Toxic", Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

    Nasional
    Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

    Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

    Nasional
    Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim 'Red Notice' ke Interpol

    Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim "Red Notice" ke Interpol

    Nasional
    Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

    Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

    Nasional
    Anggap 'Presidential Club' Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

    Anggap "Presidential Club" Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

    Nasional
    Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

    Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

    Nasional
    Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

    Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

    Nasional
    KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

    KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

    Nasional
    Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat 'Presidential Club'

    Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat "Presidential Club"

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com