Pilkada mahal? Efisiensi dalam pembiayaan penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat diwujudkan melalui pemilu lokal serentak. Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan pada hari/tanggal, jam, dan TPS yang sama dengan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota. Penghematan ini tidak saja terjadi dalam honorarium petugas KPPS, PPS, dan PPK, tetapi juga dalam sektor pengeluaran lainnya dari tiga kali menjadi satu kali pemilu lokal.
Pemilu lokal serentak justru akan mengurangi biaya kampanye karena kampanye akan diselenggarakan oleh koalisi dua atau tiga partai politik untuk pemilu anggota DPRD dan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Pengeluaran kampanye yang paling besar selama ini bukan untuk pembiayaan berbagai bentuk kampanye yang sah berdasarkan UU, melainkan untuk ”sewa perahu” agar dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan membeli suara pemilih secara langsung ataupun melalui perantara.
Petahana cenderung menggunakan jabatan untuk kampanye pribadi? Dalam pemberitaan media, telah terungkap setidaknya ada dua modus yang digunakan petahana untuk kepentingan kampanye pribadinya, yaitu dana bantuan sosial dan bantuan pembangunan desa. Pengaturan mengenai hal ini tidak sepenuhnya terletak pada UU Pilkada, tetapi juga pada peraturan perundang-undangan lainnya.
Asumsi yang hendaknya dipegang bukan ”manusia pada dasarnya baik” sehingga tidak perlu diatur, melainkan ”apa pun latar belakangnya, manusia itu dapat berbuat baik tetapi dapat pula berbuat buruk”. Karena itu diperlukan pengaturan untuk mendorong kecenderungan baik dan mencegah kecenderungan buruk.
Pelaksanaan demokrasi harus berpedoman pada hukum. Pengaturan mengenai tata cara penggunaan bantuan sosial dan alokasi anggaran pembangunan harus dirumuskan secara lebih rinci sehingga mampu mendorong perilaku baik petahana dan mencegah perilaku buruk petahana.
Timbulkan kekerasan?
Kekerasan di beberapa daerah tidaklah seluruhnya berkaitan dengan pilkada. Setidaknya ada dua hal dapat dikemukakan mengenai fenomena kekerasan di beberapa daerah.
Pertama, berbagai ketegangan akibat adanya kesenjangan antarmasyarakat senyatanya karena masyarakat kurang mendapat saluran yang memadai dari berbagai lembaga yang seharusnya berperan. Partai politik yang memiliki kursi di DPR dan DPRD sebagai representasi politik formal (mereka terpilih melalui pemilu untuk mewakili warga masyarakat) itulah yang seharusnya menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat tersebut. Hal yang merisaukan adalah partai politik merasa tidak bersalah setiap kali terjadi kekerasan politik di daerah.
Kedua, pemilu merupakan konflik yang dilembagakan. Artinya, prosedur dan aturan main persaingan antara pihak yang berupaya keras mendapatkan dan pihak lain yang berupaya keras mempertahankan kursi/jabatan diatur secara lengkap, jelas, dan konsisten berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, transparan dan akuntabel.
Pemilu yang diatur dengan UU seperti inilah yang disebut pelembagaan konflik. Pelembagaan konflik seperti ini dimaksudkan tidak saja untuk mendapatkan calon terpilih, tetapi juga agar persaingan itu berlangsung damai tanpa kekerasan. Satu atau lebih aspek pelembagaan ini yang mungkin belum efektif mencegah kekerasan.
Pengajuan gugatan terhadap hasil pilkada kepada MK hendaklah dilihat sebagai kesediaan masyarakat menyelesaikan perselisihan hasil pemilu secara beradab (hukum), bukan dengan kekerasan. Oleh karena itu, jumlah gugatan terhadap hasil pilkada tidak dapat diartikan sebagai kelemahan, tetapi suatu fenomena positif.
Ramlan Surbakti Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga