Menurut Djoko, siapa pun orangnya, proses hukum yang akan dikenai terhadap orang itu akan tetap sama sesuai dengan aturan hukum yang berlaku bagi setiap warga negara.
Djoko mengaku percaya bahwa kebenaran bisa terungkap dalam sebuah proses pengadilan dan bukan di media massa. Bisa saja Polri yang benar atau malah KPK yang benar dalam kasus ini.
Meski begitu, sebagai Menko Polhukam, Djoko mengaku tidak mau mengintervensi, apalagi mengingat bahwa yang namanya proses hukum melibatkan banyak pihak, mulai dari kejaksaan, polisi, dan pengadilan.
Meskipun demikian, kritik terhadap penanganan Bibit dan Chandra tersebut terus menggema dari berbagai daerah.
Di Yogyakarta, Zainal Arifin Muchtar, Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (PuKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menilai para koruptor diuntungkan dalam kasus dugaan kriminalisasi KPK.
Menurut Zainal, penahanan Bibit dan Chandra seperti pertunjukan komedi tak lucu yang dipertontonkan ke publik. Polisi dianggap menyalahgunakan wewenang mengingat syarat subyektif penahanan sebagaimana Pasal 21 Ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tidak terpenuhi. Pasal 21 Ayat 1 mengatur penahanan tersangka atau terdakwa dilakukan lantaran kekhawatiran yang bersangkutan melarikan diri, merusak barang bukti, atau mengulangi tindak pidana lagi.
Ketiga kekhawatiran ini tidak tampak pada diri Bibit dan Chandra. ”Bagaimana mungkin jika orang yang sudah nonaktif dari jabatannya dapat menghilangkan barang bukti?” ujar Hifdzil Alim, staf peneliti PuKAT.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.