Salin Artikel

Kembalikan Asas Rahasia dalam Pemilu

Ketika pilihan politik diumbar bebas, bahkan dijadikan alat provokasi, ketegangan sosial menjadi tidak sehat.

Perbedaan pilihan politik tidak dirayakan, sebaliknya menjadi alat merendahkan dan saling menekan.

Keterbukaan dan kemudahan di era digital (banjirnya fasilitas media sosial) dalam politik telah dimanfaatkan untuk saling merendahkan atas pilihan politik satu pihak terhadap pihak lainnya.

Kelompok tertentu direndahkan hanya karena pilihan politiknya. Mereka yang berbeda pilihan politik diposisikan sebagai kelompok yang harus ditekan dan disingkirkan.

Hal ini semakin berkembang di tengah konteks sosial masyarakat kita yang tingkat kedewasaan berpolitiknya masih rendah, makna politik substansial belum dimaknai secara baik, asas rahasia dalam pilihan-pilihan politik memudar, tak terkecuali praktik klientelisme politik yang masih mendominasi.

Para pemilih, penggiat kampanye, atau aktor-aktor lain menyediakan dukungan elektoral bagi para politisi dengan imbalan berupa bantuan atau manfaat material (Democracy for Sale, 2019).

Hilangnya asas rahasia ini membuat suasana ruang-ruang publik kita menjadi gaduh dan penuh dengan umpatan yang tidak bermutu.

Bahkan, menjadi arena “perkelahian dan kekerasan fisik” antarkelompok. Di sisi lain, penguasa dengan mudah mengenali kelompok warga yang tidak mendukungnya dalam pemilu, kemudian menekan dan memperlakukannya secara berbeda.

Hilangnya asas rahasia

Dulu saya sempat merasakan bagaimana asas rahasia begitu dijunjung dalam pemilu bahkan selama periode kontestasi berlangsung.

Masih dalam ingatan, saya iseng bertanya, “Kakek, pilih siapa?”

“Ssst… rahasia, tidak boleh tahu,” jawab Kakek saya.

Pilihan dirahasiakan, sehingga pasca-pemilu pun tidak ada efek yang berarti, apalagi konflik (meskipun berbeda pilihan).

Kini beda 360 derajat. Atas nama kebebasan berpendapat, orang bebas mengemukakan pilihannya secara gamblang, bahkan jauh hari sebelum pemilu.

Levelnya beragam, mulai dari yang sekadar menyebarkan pilihannya sampai menjadikan pilihan politik sebagai alat propaganda, menyudutkan pihak yang berbeda.

Mereka tak segan (sukarela ataupun tidak) mendengungkan pilihannya dengan segala cara, termasuk cara “jorok” yang mengabaikan etika.

Sangat disadari bahwa perbedaan pilihan adalah pasti dan tak terhindarkan, apalagi dalam politik. Setiap orang akan merasa pilihannya tepat dengan perspektif masing-masing.

Hanya, hal tersebut menjadi lain ketika perbedaan pilihannya digembar-gemborkan, apalagi melampaui batas hingga bernuansa provokatif.

Menghakimi bahwa pilihannya paling benar; bersikap ekstrem dengan “menyucikan” pilihannya dan “mengharamkan” pilihan yang berbeda.

Tentu keliru memandang pilihan politik dalam kacamata benar atau salah, yang bersifat absolut.

Tidak ada unsur benar-salah dalam pilihan politik. Semua kandidat dalam kontestasi apa pun, (seharusnya) dipilih dalam pertimbangan tepat atau tidak tepat, bermanfaat atau tidak bermanfaat.

Artinya, apakah kualitas (visi) dan kapasitas kandidat, termasuk kualitas programnya, yang dipilih tersebut tepat sesuai dengan konteks kebutuhan publik atas masalah-masalah yang sedang dihadapi.

Referensinya adalah aspek rasional, bukan mengandalkan sentimen yang irasional.

Konsekuensi personal dan publik

Setiap tindakan punya konsekuensi, termasuk hilangnya asas rahasia dalam pemilu dan warga menggembar-gemborkan pilihannya. Dampaknya terhadap personal dan publik.

Kasus kekerasan terhadap Ade Armando bisa menjadi ilustrasi bagaimana dampak sikap tersebut terhadap personal.

Mereka akan menjadi sasaran dari pihak yang berbeda atau tidak sepemahaman dengannya atas tindakan dan responsnya terhadap perbedaan pilihan. Ini memicu pihak lain untuk bersikap represif.

Dampak lainnya adalah berbagai kasus di level keluarga, semisal, suami-istri berkonflik, antar-keluarga bertengkar karena perbedaan pilihan politik yang diambil.

Meski begitu, tindakan represif akibat beda pilihan bukanlah sesuatu yang dibenarkan.

Sebenarnya, bukan cuma Ade Armando, publik pun “kena pukul”. Ruang publik menjadi gaduh. Ketegangan dan perpecahan mengikuti: aku bukan kamu, kita bukan mereka.

Hal tersebut mengkristal menimbulkan polarisasi. Polarisasi membuat ruang publik kita, tak terkecuali media sosial, begitu sesak dengan konten-konten atau narasi yang tidak bermutu.

Publik dijejali informasi dan pengetahuan yang lebih mengarah pada provokatif, intimidatif, dan minim keabsahan.

Pada tahap tertentu, ruang publik kita tak ubahnya arena tumpukan sampah dan bersifat kontraproduktif.

Buruknya terasa sampai pasca-pemilu. Percakapan yang terpolarisasi akan menyulitkan adanya kolaborasi membangun negeri.

Semangat kerja sama akan menurun, potensi konflik sosial terus membayangi. Ini dipertegas B. Herry Priyono (2022), bahwa konflik karena sentimen ini adalah patologi untuk hidup bersama dalam kebhinekaan yang memicu ledakan konflik horizontal.

Kelompok satu dengan lainnya bukan membentuk kerja sama, melainkan "orang asing" yang mesti diusir.

Rahasiakan pilihan

Demokrasi memfasilitasi semua orang untuk berbicara, mengutarakan pendapat secara bebas, meski bukan untuk semua hal.

Keterbukaan juga bukan berarti bebas bersikap vulgar dan tanpa batas. Senada dengan Mangunwijaya (dalam Sidney Hook, Sosok Filsuf Humanisme Demokrat dalam Tradisi Pragmatisme, 1994), demokrasi memiliki aturan main, salah satunya kebebasan yang berbatas.

Dia yang melanggar akan mereduksi demokrasi ke Darwinisme menuju anarkis dan kekacauan.

Kita tetap perlu membatasi dan menahan diri untuk tidak sesumbar akan pilihan politik karena toh itu bukan kiat-kiat sukses yang perlu diumbar.

Junjung kembali asas rahasia dalam pemilu; rahasiakanlah pilihanmu. Cukup mereka yang berkampanye adalah tim kampanye.

Warga bersikap tenang dan kembali pada perannya menjadi “hakim” atas semua kandidat yang disodorkan dan menawarkan diri. Dibarengi dengan riset untuk mempertimbangkan pilihan yang terbaik.

Untuk memiliki kemampuan memilih, masyarakat butuh pengetahuan. Pengetahuan atas dinamika politik, kualitas pemimpin yang baik, bagaimana seharusnya pemerintahan dilaksanakan, serta bagaimana kekuasaan politik itu bekerja, dan lainnya.

Ini perlu didukung oleh kurator pengetahuan. Kalangan terdidik dan intelektual publik perlu menyadari kehadiran, peran, dan pemikirannya memiliki pengaruh besar bagi publik.

Karena seberpengaruh itu, perlu dimanfaatkan untuk kebaikan bersama—berperan objektif dan menenangkan keadaan secara jernih dengan ilmu pengetahuannya.

Bukan sebaliknya, justru menjadi aktor yang terlibat dalam kegaduhan akibat propaganda dan provokasinya. Ini akan meminimalisasi konflik atas perbedaan pilihan politik, khususnya yang digembar-gemborkan.

Beda pilihan politik bukan masalah selama hal tersebut tidak dimanfaatkan sebagai alat provokasi secara terbuka, apalagi menjadi komoditas politik yang dipropagandakan oleh kelompok “berbayar”.

Di tengah kondisi kekinian, mengembalikan asas rahasia dalam pilihan politik dengan ditopang oleh sikap warga yang proporsional dalam melihat kehadiran kandidat merupakan kebutuhan, yang perlu diketengahkan sebagai praktik, guna meminimalisasi serta meredam ketegangan dan kegaduhan politik yang tidak perlu.

Dulu, asas rahasia dalam pemilu diperlukan demi melindungi warga negara dari tekanan dan intimidasi penguasa.

Hari ini, asas tersebut kembali perlu dihadirkan untuk meredam potensi saling menekan antarkelompok warga atas pilihan-pilihan politik yang diambil, termasuk agar penguasa terpilih tidak menekan (balas dendam politik) kepada kelompok warga yang tidak memilihnya.

Juga supaya pemilu kita tetap berjalan di koridor menuju demokrasi substansial.

https://nasional.kompas.com/read/2022/06/03/08550471/kembalikan-asas-rahasia-dalam-pemilu

Terkini Lainnya

Ke Kader yang Akan Ikut Pilkada, Megawati: Kalau Bohong, Lebih Baik Tidak Usah

Ke Kader yang Akan Ikut Pilkada, Megawati: Kalau Bohong, Lebih Baik Tidak Usah

Nasional
Hakim: Hinaan Rocky Gerung Bukan ke Pribadi Jokowi, tetapi kepada Kebijakan

Hakim: Hinaan Rocky Gerung Bukan ke Pribadi Jokowi, tetapi kepada Kebijakan

Nasional
Belum Putuskan Maju Pilkada di Mana, Kaesang: Lihat Dinamika Politik

Belum Putuskan Maju Pilkada di Mana, Kaesang: Lihat Dinamika Politik

Nasional
Jokowi Bakal Diberi Posisi Terhormat, PDI-P: Untuk Urusan Begitu, Golkar Paling Sigap

Jokowi Bakal Diberi Posisi Terhormat, PDI-P: Untuk Urusan Begitu, Golkar Paling Sigap

Nasional
PPP Jadi Partai yang Gugat Sengketa Pileg 2024 Terbanyak

PPP Jadi Partai yang Gugat Sengketa Pileg 2024 Terbanyak

Nasional
Wapres Doakan Timnas Indonesia Melaju ke Final Piala Asia U23

Wapres Doakan Timnas Indonesia Melaju ke Final Piala Asia U23

Nasional
Ada 297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Pengacara dari 8 Firma Hukum

Ada 297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Pengacara dari 8 Firma Hukum

Nasional
Novel Baswedan dkk Laporkan Nurul Ghufron ke Dewas KPK, Dianggap Rintangi Pemeriksaan Etik

Novel Baswedan dkk Laporkan Nurul Ghufron ke Dewas KPK, Dianggap Rintangi Pemeriksaan Etik

Nasional
Kumpulkan Seluruh Kader PDI-P Persiapan Pilkada, Megawati: Semangat Kita Tak Pernah Pudar

Kumpulkan Seluruh Kader PDI-P Persiapan Pilkada, Megawati: Semangat Kita Tak Pernah Pudar

Nasional
Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Indonesia U-23 Kalahkan Korsel, Wapres: Kita Gembira Sekali

Nasional
Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Jokowi Tunjuk Luhut Jadi Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional

Nasional
Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Di Hari Kesiapsiagaan Bencana Nasional, Fahira Idris Sebut Indonesia Perlu Jadi Negara Tangguh Bencana

Nasional
297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

297 Sengketa Pileg 2024, KPU Siapkan Bukti Hadapi Sidang di MK

Nasional
Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Meski Anggap Jokowi Bukan Lagi Kader, Ini Alasan PDI-P Tak Tarik Menterinya dari Kabinet

Nasional
Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Rancangan Peraturan KPU, Calon Kepala Daerah Daftar Pilkada 2024 Tak Perlu Lampirkan Tim Kampanye

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke