JAKARTA, KOMPAS.com - Hari ini, tepat dua tahun yang lalu, gedung DPR RI menjadi saksi bisu terjadinya aksi bertajuk #ReformasiDikorupsi.
Ini menjadi salah satu aksi mahasiswa terbesar setelah Reformasi 1998. Pada hari itu, mahasiswa dari berbagai penjuru datang dengan tuntutannya beserta dengan geramnya.
Aksi tersebut menuntut pembatalan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan menolak pengesahan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) bermasalah.
Massa aksi demonstrasi itu pun berasal dari sejumlah perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia, Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung, Universitas Paramadina, Universitas Trisakti, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Universitas Indraprasta PGRI (Unindra), serta berbagai perguruan tinggi lainnya.
Para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi itu menyampaikan mosi tak percaya kepada DPR. Mosi ini disampaikan lantaran parlemen tak menggubris kritik masyarakat soal revisi UU KPK yang akhirnya disahkan DPR. Mereka merasa reformasi telah dikorupsi.
Mahasiswa juga mengkritik DPR yang seolah tutup telinga terhadap tuntutan penundaan pengesahan RKUHP.
Mengutip Kompas.id, penolakan terhadap revisi UU KPK dan RUU lain, yaitu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba, sudah sering disuarakan elemen masyarakat sipil.
Sejumlah guru besar lintas perguruan tinggi juga melakukan hal yang sama, bahkan untuk menolak revisi UU KPK, surat resmi telah dilayangkan ke DPR.
Namun, semua masukan dari publik itu tak digubris. Tak hanya itu, anggota DPR sempat meremehkan suara mahasiswa. Mereka menolak untuk menemui massa mahasiswa yang menggelar aksi damai pada Kamis, 19 September 2019.
Tak heran jika bara kemarahan mahasiswa akhirnya terbakar. Mereka rela menunda kuliahnya, berjalan jauh di tengah terik matahari, menghabiskan suara untuk berorasi, demi melawan kesewenang-wenangan pemerintah dan DPR dalam menyusun legislasi.
Tak peduli pula dengan risiko unjuk rasa akan berujung ricuh yang membuat keselamatan mereka terancam.
Bukan hanya di jalanan, protes juga disampaikan masyarakat melalui media sosial. Tagar #ReformasiDikorupsi juga turut meramaikan jagat Twitter saat itu.
Menjadi aksi nasional dan diwarnai kerusuhan
Awalnya aksi #ReformasiDikorupsi hanya di Jakarta, kemudian berkembang menjadi aksi nasional.
Serangkaian aksi yang terjadi mulai dari 23-30 September 2019 ini berlangsung di berbagai kota besar di Indonesia seperti Malang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Palembang, Medan, Semarang, Bandung, Denpasar, Kendari, Tarakan, Samarinda, Banda Aceh, dan Palu.
Aksi nasional itu pun mengangkat tujuh tuntutan. Tujuh poin tuntutan tersebut adalah:
Rangkaian aksi itu pun diwarnai kericuhan antara aparat dan peserta aksi. Sejumlah video yang beredar di media sosial, tampak jelas polisi melayangkan pukulan, tendangan dan benda tumpul ke arah demonstran yang sudah tidak berdaya.
Di Jakarta, sekitar 90 demonstran dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Sebanyak 3 di antaranya mengalami luka serius pada bagian kepala sehingga membutuhkan perawatan intensif lebih lama dibandingkan yang lainnya.
Di daerah, kondisinya nyaris serupa. Demonstrasi awalnya berujung damai, namun ujung-ujungnya bentrok dengan aparat.
Kontras menyebut aksi kebrutalan itu menyebabkan 5 orang masa aksi meinggal dunia, di antaranya Immawan Randi dan Yusuf Kardawi, mahasiswa Universitas Halu Oleo; pemuda asal Tanah Abang, Maulana Suryadi; serta dua pelajar, Akbar Alamsyah dan Bagus Putra Mahendra.
Tim Advokasi untuk Demokrasi juga menerima setidaknya 390 aduan ihwal adanya tindak kekerasan yang dilakukan oleh Polri dalam penanganan aksi itu. Dari 390 pengaduan itu, sebanyak 10 hingga 15 pengaduan akan menuntut secara hukum.
Pengacara dari LBH Jakarta Sutista Dirga yang tergabung dalam tim advokasi tersebut, mengungkap, secara umum kekerasan dilakukan pada saat penangkapan dan interogasi. Selain itu, juga ada intimidasi verbal.
Pengaduan tak hanya datang dari mahasiswa dan siswa, tetapi juga petugas medis, wartawan hingga keluarga korban.
Akibat kekerasan itu, mahasiswa dan buruh kemudian memberikan satu tuntutan tambahan yaitu pemerintah harus bertanggung jawab atas korban luka dan meninggal terhadap massa aksi pada tanggal 23-30 September 2019 dan aktivis pro demokrasi yang dikriminalisasi dengan membentuk tim penyelidikan independen di bawah naungan Komnas HAM.
https://nasional.kompas.com/read/2021/09/20/10420161/menilik-kembali-aksi-reformasidikorupsi-dua-tahun-lalu