Di sejumlah daerah yang terdapat calon kepala daerah petahana, muncul beban psikis kepolisian dan satpol PP untuk membubarkan kerumunan massa kampanye.
Sehingga, ketika Bawaslu menyatakan adanya pelanggaran sehingga harus dilakukan pembubaran, justru terjadi saling lempar kewenangan.
"Terus terang kami katakan ada beban psikis, beban psikologi. Meskipun Bawaslu sudah menyatakan ini bersalah mari kita bubarkan, tetapi ada beban psikis dari kepolisian dan satpol PP kemudian saling lempar," kata Abhan dalam diskusi virtual, Rabu (21/10/2020).
"Jadi seakan, sudah Bawaslu sendiri saja yang melakukan pembubaran. Dia melihat ini incumbent, ini petahana, satpol PP juga begitu, polisi juga sama seperti itu, ini ada beberapa daerah seperti itu," tuturnya.
Abhan menjelaskan, jika terjadi kerumunan massa saat kampanye, Bawaslu berwenang memberikan surat peringatan agar kegiatan dibubarkan.
Kemudian, jika dalam kurun waktu 1 jam peringatan tersebut tak diindahkan, terpaksa dilakukan pembubaran.
Namun, pembubaran tak dilakukan Bawaslu sendiri melainkan bersama-sama dengan aparat penegak hukum.
Menurut Abhan, pihaknya tak mampu melakukan pembubaran massa sendirian lantaran jumlah jajaran Bawaslu yang terbatas di lapangan.
Bawaslu juga tak punya personel layaknya aparat polisi dan TNI.
Oleh karenanya, jika pembubaran kerumunan massa kampanye ini dibebankan pada Bawaslu saja, kata Abhan, pihaknya akan kewalahan.
"Kalau ini dibebankan kepada penyelenggara Bawaslu saja tentu kami tidak akan bisa mampu menghadapi begitu banyak kerumunan massa yang sampai 500 atau sampai 1.000 misalnya," ujarnya.
Maklumat Kapolri
Abhan pun menyinggung adanya Maklumat Kapolri dan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 terkait penegakan hukum protokol kesehatan.
Melalui aturan hukum itu, para pemangku kepentingan seperti kepolisian, satpol PP, hingga Kementerian Dalam Negeri punya tanggung jawab untuk menegakkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Namun ternyata, faktanya di lapangan penindakan terhadap pelanggaran protokol kesehatan masih menemui kendala ketegasan.
"Kami melihat bahwa ini persoalan ketegasan dalam protokol Covid ini ada sisi kemanusiaannya, berbeda dengan penanganan pelanggaran pada umumnya," kata Abhan.
Abhan pun berharap, pencegahan pelanggaran protokol kesehatan kampanye yang dilakukan pihaknya dapat berjalan efektif.
Namun demikian, ketika muncul pelanggaran, semestinya ada ketegasan dari pihak-pihak berwenang.
"Saya kira tidak semuanya (protokol kesehatan) bisa dipatuhi. Lha ketika tidak dipatuhi maka harus ada ketegasan," katanya.
Untuk diketahui, kasus pelanggaran protokol kesehatan pada saat kampanye Pilkada 2020 mengalami peningkatan.
Peningkatan itu terjadi seiring dengan meningkatnya kegiatan kampanye dengan metode tatap muka atau pertemuan terbatas.
Bawaslu mencatat, terdapat 375 pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi pada kurun 6-15 Oktober 2020.
Angka pelanggaran bertambah 138 kasus bila dibandingkan dengan pengawasan pada kurun waktu sebelumnya, yaitu pada 26 September hingga 5 Oktober yang tercatat 237 kasus.
“Bawaslu menindaklanjuti pelanggaran tersebut dengan memberikan peringatan tertulis untuk pasangan calon dan/atau tim kampanye hingga pembubaran kampanye,” ungkap anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin dalam keterangan tertulis, Sabtu (17/10/2020).
Adapun Pilkada Serentak 2020 digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Masa kampanye berlangsung selama 71 hari, dimulai sejak 26 September dan berakhir 5 Desember 2020.
Sementara, hari pemungutan suara Pilkada rencananya akan dilaksanakan secara serentak pada 9 Desember.
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/21/19100301/bawaslu-ungkap-persoalan-ketegasan-aparat-hukum-bubarkan-kerumunan-kampanye