Pemohon dalam perkara ini adalah pemilik perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) bernama Sunaryo dan Zarkasi.
Keduanya mempersoalkan dua pasal dalam UU PPMI, yaitu Pasal 5 huruf d dan Pasal 54 Ayat (1) huruf b.
"Bahwa Pemohon merasa sangat dirugikan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 huruf d dan Pasal 54 Ayat (1) huruf b UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang pelindungan pekerja migran Indonesia sehingga menjadikan kebijakan pemerintah tersebut menjadi diskriminatif," kata Kuasa Hukum pemohon, Junaidi, melalui sidang virtual yang digelar MK, Selasa (12/5/2020).
Pasal 5 huruf d UU PPMI mengatur tentang salah satu syarat seseorang dapat menjadi pekerja migran, yaitu terdaftar dan memiliki nomor kepesertaan jaminan sosial.
Pasal itu dinilai sangat membebani pemohon karena jaminan sosial yang dimaksud spesifik pada BPJS kesehatan.
Pemohon menilai, sistem BPJS kesehatan memiliki banyak kelemahan dan masalah sehingga tidak cocok digunakan para pekerja migran.
Masalah itu misalnya mengenai kerugian yang terus menerus dialami pihak BPJS.
Pada tahun 2014, BPJS mengalami kerugian sebesar Rp 814,4 miliar, tahun 2015 merugi Rp 4,63 triliun, tahun 2016 rugi Rp 6,6 triliun, dan tahun 2018 rugi Rp 10,98 triliun.
"Hal ini menunjukkan sistem jaminan sosial yang diselenggarakan oleh BPJS sangatlah tidak tepat dimiliki pada pos-pos urgen seperti pelayanan terhadal jaminan kesehatan bagi pekerja migran," ujar Junaidi.
Pemohon juga menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan belum bekerja sama dengan rumah sakit di luar negeri.
Hal tersebut dinilai mempersulit proses jaminan kesehatan para pekerja migran jika terjadi kecelakaan kerja di luar negeri.
Dampaknya, P3MI akan dianggap tidak bertanggung jawab sehingga sangat mungkin dikenai sanksi.
"Bahwa Pemohon merasa pemerintah haruslah yang hadir dalam memberikan jaminan sosial bagi pekerja migran di Indonesia, bukan membebankan pada perusahaan pelaksana penemparan tenaga kerja Indonesia," kata Junaidi.
Sementara itu, Pasal 54 Ayat (1) huruf b mengatur bahwa P3MI harus menyetor uang kepada pemerintah dalam bentuk deposito paling sedikit Rp 1,5 miliar yang sewaktu-waktu dapat dicairkan.
Pemohon menilai ketentuan tersebut sangat membebani mereka karena di luar biaya Rp 1,5 miliar, P3MI wajib memiliki modal yang disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan paling sedikit Rp 5 miliar.
Adanya ketentuan dalam Pasal 54 Ayat (1) huruf b menjadikan beberapa perusahaan tidak dapat melanjutkan aktivitas perusahaan.
"Bahwa ketentuan dalam peraturan a quo tidak sejalan upaya pemerintah dalam melindungi segenap bangsa Indonesia," ujar Junaidi.
Pemohon pun meminta supaya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 5 huruf d UU PPMI bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang jaminan sosial yang dimaksud hanya terbatas pada BPJS Kesehatan.
Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 54 Ayat (1) huruf b inkonstitusional, atau konstitusional sepanjang uang setoran Rp 1,5 miliar bukan dimaknai sebagai deposito, tetapi dalam bentuk bank garansi (jaminan bank oleh bank mana pun).
https://nasional.kompas.com/read/2020/05/12/12285881/uu-pelindungan-pekerja-migran-digugat-ke-mk-dinilai-bebani-perusahaan