Abhan mengingatkan bahwa rekapitulasi hasil pilkada secara elektronik belum diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
"Ada problem masalah (dasar) hukum. Sebab UU (pilkada) tidak mengatur soal e-rekap, " ujar Abhan saat memberikan materi dalam seminar bertajuk "Evaluasi Pemilu Serentak dan Tantangan Indonesia ke Depan", di Hotel Grand Sahid, Sudirman, Jakarta, Selasa (10/12/2019).
Dirinya khawatir apabila nantinya Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan hitungan hasil pemungutan suara pilkada yang paling sah adalah berdasarkan e-rekap dan dituangkan dalam peraturan KPU, akan menuai masalah hukum.
Sebab, hal itu menyalahi aturan undang-undang di atasnya. Sehingga, apabila ingin melakukan digitalisasi dalam administrasi hasil pilkada maupun pemilu, Abhan menyarankan KPU merujuk kepada dasar hukum yang ada.
"Jadi sebenarnya yang paling penting adalah bagaimana agar peraturan perundangan bisa menjamin dasar hukum soal digitalisasi administrasi hasil pilkada dan pemilu," lanjut dia.
Meski demikian, Abhan menilai rencana digitalisasi administrasi seperti ini memiliki tujuan baik.
Di antaranya, untuk mengurangi beban kerja proses administrasi hasil pilkada dan menghindari kelelahan petugas di lapangan.
"Juga agar tidak banyak waktu yang diperlukan dalam rekapitulasi dan menghindari petugas yang meninggal dunia akibat beban kerja yang tinggi di Pilkada 2020 nanti, " tambah dia.
Diberitakan sebelumnya, KPU berencana menerapkan rekapitulasi suara secara elektronik dalam Pilkada 2020.
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik mengatakan, pihaknya telah meminta KPU daerah untuk melakukan pemetaan terhadap TPS-TPS yang memungkinkan menggunakan e-rekap.
"Daerah kita sudah mintakan untuk dilakukan pemetaan terhadap TPS-TPS," kata Evi saat ditemui di Java Heritage Purwokerto, Minggu (1/12/2019).
Evi mengatakan, pemetaan yang dilakukan meliputi kemampuan koneksi jaringan internet pada lokasi TPS.
Hal ini penting lantaran e-rekap hanya dapat dioperasikan jika koneksi internet berjalan dengan baik.
"Kalau tidak langkah yang berikutnya adalah kerja sama atau koordinasi dengan Kominfo yang ada dan dicarikan solusinya seperti apa," ujar Evi.
Selanjutnya, tugas penting KPU dalam mempersiapkan penerapan e-rekap adalah menuangkannya dalam peraturan perundang-undangan.
Evi mengatakan, aturan soal e-rekap ini nantinya akan dimuat dalam Peraturan KPU (PKPU).
"Nanti kita akan atur di dalam peraturan KPU kita langkah apa yang harus dilakukan untuk kemudian e-rekap ini juga bisa berjalan walaupun misalnya ada kendala di internet di TPS tersebut," ujar Evi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini menyarankan adanya revisi terbatas Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Salah satu alasannya adalah revisi ini diperlukan untuk memperkuat legitimasi pemberlakuan e-rekap.
Wacana yang juga muncul atas usulan KPU itu dinilai masih memerlukan payung hukum yang kuat sebelum nantinya benar-benar direalisasikan.
"Meskipun e-rekap pada akhirnya tidak diberlakukan (di Pilkada) 2020, (revisi UU Pilkada) dia menjadi dasar pijak sangat kuat bagi penerapan rekapitulasi elektronik di Indonesia," kata Titi.
Untuk diketahui, Pilkada 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia. 270 wilayah ini meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Adapun hari pemungutan suara Pilkada 2020 jatuh pada 23 September tahun depan.
https://nasional.kompas.com/read/2019/12/10/11224231/belum-punya-dasar-hukum-rencana-penerapan-e-rekap-dikritik-bawaslu