Salin Artikel

Benarkah Jokowi Terganggu oleh KPK?

Perubahan sikap Jokowi membuat revisi UU KPK berjalan mulus. Pada Selasa (17/9/2019), pemerintah dan DPR mengesahkan revisi UU KPK menjadi UU dalam rapat paripurna.

Padahal, revisi UU KPK itu baru diusulkan DPR kepada pemerintah pada Kamis (5/9/2019). Artinya proses pembahasan revisi antara DPR dan pemerintah hanya memakan waktu 12 hari.

Padahal, berdasarkan UU, Presiden masih memiliki waktu 60 hari untuk merespon usulan DPR tersebut.

Materi perubahan UU KPK kali ini juga sebenarnya tak berbeda jauh dari yang sudah diusulkan sebelumnya. Kalangan masyarakat sipil antikorupsi hingga pimpinan KPK menilai revisi bisa melemahkan lembaga antirasuah itu.

Misalnya pembentukan dewan pengawas yang dianggap dapat membatasi kerja KPK dalam mengusut kasus korupsi. Sebab, Dewan Pengawas yang anggotanya dipilih oleh Presiden ini berwenang memberi izin atau tidak memberi izin atas penyadapan, penggeledahan dan penyitaan yang hendak dilakukan penyidik.

Lalu, wewenang KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) juga dinilai bisa menghambat kerja lembaga antikorupsi itu untuk mengusut kasus besar dan kompleks.

Status KPK yang kini berubah menjadi lembaga negara dan masuk pada rumpun eksekutif serta status pegawainya sebagai Aparatur Sipil Negara juga dinilai dapat mengganggu independensi.

Namun kali ini, Jokowi mengabaikan semua masukan dari publik itu. Pimpinan KPK sudah mengajukan pertemuan dengan Jokowi lewat Menteri Sekretaris Negara untuk memberi masukan soal revisi UU KPK.

Hingga revisi UU KPK disahkan menjadi UU, pertemuan itu urung terlaksana.

KPK Adalah Gangguan

Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah punya analisis sendiri mengapa presiden akhirnya berani menyetujui revisi UU KPK. Menurut Fahri, sikap Jokowi ini adalah puncak kekesalannya atas gangguan yang selama ini diciptakan KPK.

Menurut politisi PKS ini, gangguan KPK sudah terjadi sejak awal masa pemerintahan Jokowi pada Oktober 2014.

Fahri menyebut, awalnya Jokowi menaruh kepercayaan pada KPK. Sampai-sampai KPK diberikan kewenangan untuk mengecek rekam jejak calon menteri, sesuatu yang tidak diatur dalam UU.

"Saya sudah kritik pada waktu itu ketika KPK sudah mencoret nama orang. Dia taruh hijau, dia taruh merah, dia taruh kuning. Dia bilang yang hijau boleh dilantik, kuning tidak boleh karena akan tersangka dalam 6 bulan," ujar Fahri.

"Lalu kemudian yang merah jangan dilantik karena akan tersangka dalam sebulan. Luar biasa sehingga ada begitu banyak nama-nama dalam kabinet yang diajukan oleh Pak Jokowi dan paropol kandas di tangan KPK," lanjut dia.

Menurut Fahri, KPK waktu itu merasa bangga karena akhirnya dia diberi kepecayaan sebagai polisi moral oleh Presiden.

Namun selanjutnya, Fahri menilai KPK justru semakin bertindak berlebihan. Salah satunya adalah ketika Jokowi memilih nama Budi Gunawan untuk dikirimkan ke DPR sebagai calon Kapolri. Budi langsung ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

"Tiba-tiba (Budi Gunawan) ditersangkakan tanpa pernah diperiksa oleh KPK," ujar Fahri.

Budi yang tidak terima saat itu melawan KPK lewat praperadilan. Ia menang dan lepas dari status tersangka.

Tapi Fahri menilai KPK saat itu terus menggunakan masyarakat sipil, LSM termasuk juga media untuk menyerang sang calon tunggal Kapolri.

"Apa yang terjadi, Budi Gunawan terlempar, dia tidak jadi dilantik. Tetapi begitu Pak Jokowi mencalonkan Budi Gunawan kembali sebagai Kepala BIN, tidak ada yang protes, akhirnya diam-diam saja," ujar Fahri.

"Jadi, KPK itu membunuh karier orang dengan seenaknya saja, tanpa argumen dan itu mengganggu kerja pemerintah, termasuk mengganggu kerja Pak Jokowi," ucap Fahri.

Selain Budi Gunawan, Fahri menyebut ada banyak orang yang diganggu oleh KPK secara sepihak, tanpa koordinasi, dan itu menggangu jalannya kerja pemerintahan.

Contoh terbaru adalah Kapolda Sumatera Selatan Firli Bahuri yang mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK 2019-2023. Sehari sebelum mengikuti uji kepatutan dan kelayakan di DPR, Firli disebut melanggar kode etik berat saat menjabat deputi penindakan KPK.

"Jadi Pak Jokowi tentu menurut saya merasa terganggu. Sekarang ya, bagaimana Pak Jokowi sebagai mantan pengusaha, orang yang mengerti bahwa dunia usaha itu perlu kepercayaan, dunia usaha itu perlu keamanan, perlu stabilitas. Orang mau investasi, bawa duit perlu keamanan, perlu kenyamanan, perlu berita baik, bahwa sistem kita tidak korup, sistem kita ini amanah, sistem kita transparan dan bersih," ujar Fahri.

Dalam rapat konsultasi dengan Presiden, pimpinan DPR sempat mengingatkan soal gangguan-gangguan yang dibuat oleh KPK ini. Menurut dia, keberadaan KPK tak sesuai dengan prinsip sistem presidensialisme yang diemban Indonesia.

Sebab, dalam sistem presidensial, yang dipilih rakyat adalah Presiden. Tidak boleh ada lembaga lain yang lebih kuat, atau seolah-olah lebih kuat, serta berpretensi mengatur jalannya pemerintahan dan penegakan hukum.

Dengan kata lain, kontrol harusnya ada pada tangan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

"Nah, menurut saya inilah yang menjadi latar mengapa muncul keberanian, dan Pak Jokowi melakukan tindakan itu. Tepat ketika dia berakhir 5 tahun dan akan memasuki 5 tahun berikutnya. Kalau dia tidak lakukan, dia akan mandek seperti yang terjadi dalam 5 tahun belakangan ini," ujar Fahri.

Dibantah Istana

Pihak Istana Kepresidenan membantah analisis Fahri. Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Adita Irawati. Adita menegaskan Presiden Jokowi tak pernah merasa terganggu dengan langkah KPK selama ini.

"Tidak benar," kata Adita saat dimintai tanggapan terkait pernyataan Fahri, Rabu.

"Pendapat Presiden Jokowi soal KPK sudah cukup jelas. Dalam berbagai kesempatan beliau menyampaikan apresiasi terhadap kinerja KPK yang dinilai sudah baik," ujar Adita.

Menurut dia, Presiden ingin KPK memegang peran sentral dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu KPK harus didukung dengan kewenangan dan kekuatan yang memadai.

"Dan (KPK) harus lebih kuat dibandingkan dengan lembaga lain untuk pemberantasan korupsi. Tujuan revisi KPK pun untuk memperkuat KPK, bukan sebaliknya," lanjut dia.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga mengklaim komitmen Presiden Joko Widodo terhadap pemberantasan korupsi tidak pernah berubah. Disahkannya revisi UU KPK oleh pemerintah dan DPR, bukan berarti komitmen Presiden telah bergeser.

"Pak Jokowi selaku presiden sama sekali tidak ada niatan dan sama sekali tidak ingin mencoba untuk melakukan perubahan atas komitmennya untuk memberantas korupsi. Itu harus dipahami semuanya," kata Moeldoko di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (17/9/2019).

"Jangan ada pandangan-pandangan yang mikir, Pak Jokowi sekarang berubah, tidak. komitmen dan seterusnya tidak (berubah)," sambungnya.

Moeldoko meyakini masyarakat menyadari bahwa UU KPK sudah tak pernah mengalami perubahan selama 17 tahun. Dalam perjalanannya, Moeldoko menyebut KPK sudah mendapat berbagai kritik dan masukan dari masyarakat.

"Untuk itulah DPR menampung berbagai aspirasi itu. Sebagai bentuk wujud akumulatif dari semua itu adalah proses politik dan inisiasi dilakukan di DPR untuk direvisi," ujar Moeldoko.

Moeldoko menambahkan, Presiden Jokowi sendiri sudah mengubah sejumlah poin revisi yang diusulkan DPR.

Presiden misalnya meminta jangka waktu penghentian penyidikan yang diperpanjang dari satu tahun menjadi dua tahun. Lalu, Jokowi juga menolak KPK harus berkoordinasi dengan kejaksaan dalam melakukan penuntutan.

Selain itu, meminta dewan pengawas KPK dipilih langsung olehnya lewat panitia seleksi, bukan oleh DPR.

"Kalau pemerintah tidak berkomitmen mungkin tidak banyak koreksi. Buktinya banyak koreksi pemerintah untuk memberikan masukan, revisi itu. Jadi ini sebuah bukti nyata dari situ, pak Jokowi muncul sikap komitmennya enggak berubah," kata dia.

Semestinya Apresiasi KPK

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syamsuddin Haris juga menilai tidak tepat jika Jokowi disebut merasa terganggu dengan kinerja KPK. Ia menilai analisis Fahri tidak tepat.

Syamsuddin melihat justru KPK sangat membantu Jokowi. Sebab keberhasilan pemberantasan korupsi itu lebih tampak pada KPK ketimbang kepolisian dan kejaksaan.

Ia menyebut Jokowi harusnya berterimakasih dengan KPK karena sudah turut berkontribusi besar dalam memberantas korupsi selama lima tahun terakhir di era pemerintahannya

"Dan kita tau KPK bukan bagian eksekutif. Artinya Pak Jokowi justru harusnya berterimakasih kepada KPK, memberikan apresiasi kepada KPK atas kinerjanya yang bagi saya lumayanlah, cukup baik, lagi-lagi jika dibandingkan kepolisian dan kejaksaan," ucap Syamsuddin.

Syamsuddin juga menilai tidak tepat jika KPK hanya dianggap terus melakukan penangkapan tanpa melakukan pencegahan dan mengurangi korupsi. Ia menyebut langkah-langkah pencegahan juga sudah dilakukan dengan cukup baik dan korupsi di Indonesia sudah relatif berkurang.

Hal ini bisa dilihat dari naiknya Indeks Presepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Setelah stagnan dengan skor 37 pada 2016 dan 2017, skor IPK Indonesia pada 2018 naik satu poin menjadi 38.

"IPK Indonesia meningkat dari waktu ke waktu walau tak tinggi banget itu prestasi KPK juga," ujar dia.

Syamsuddin pun menyesalkan Jokowi justru menyetujui revisi UU KPK yang bisa melemahkan lembaga antirasuah itu. Padahal KPK masih menjadi harapan masyarakat untuk bisa terus memberantas korupsi di negeri ini.

"Ya sangat mengecewakan sikap Jokowi yang tidak konsisten itu, sangat mengecewakan publik. Saya enggak tau ada apa dibalik perubahan sikap Pak Jokowi yang tak konsisten itu, tapi itu jelas sangat sangat mengecewakan," ujar dia. 

https://nasional.kompas.com/read/2019/09/19/08394821/benarkah-jokowi-terganggu-oleh-kpk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke