Salin Artikel

Pengamat: Menambah Porsi Koalisi Akan Menjadi Beban bagi Jokowi

Sementara Presiden Joko Widodo yang sebelumnya telah bertemu Prabowo dinilai membuka diri dengan pendekatan yang dilakukan partai politik yang berseberangan dalam kontestasi politik Pilpres 2019, seperti PAN dan Partai Demokrat.

Secara terbuka, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyatakan dukungannya kepada pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Namun, belum jelas sikapnya apakah berniat gabung ke Koalisi Indonesia Kerja atau tidak.

Di sisi lain, partai politik pendukung Jokowi secara tegas menolak adanya tambahan penumpang di koalisi mereka.

Ketua DPP PDI Perjuangan Andreas Pareira mengatakan, jangan sampai penambahan anggota koalisi justru membuat parpol yang bergabung di dalamnya tidak solid.

"Bahwa di luar itu ada suara-suara yang ingin bergabung, yang penting pertama itu koalisi solid sehingga jangan sampai ada penambahan atau ini justru membuat koalisi tidak solid," kata Andreas, Selasa (23/7/2019).

Pengamat komunikasi politik CSIS, Arya Fernandes, memandang, tambahan parpol yang bergabung ke koalisi pendukung justru akan membebani Jokowi dan pemerintahan lima tahun ke depan.

Menurut dia, seolah ada dua blok di internal koalisi Jokowi, yakni parpol pendukung yang sudah lama berdiri di barisan mereka, dan blok pendatang yang disambut oleh Megawati dan Jokowi.

"Ini tentu tidak menguntungkan bagi Jokowi karena akan kesulitan bernegosiasi dengan dua blok ini yang mungkin saja permintaannya banyak," ujar Arya kepada Kompas.com, Kamis (25/7/2019).

Menurut Arya, lumrah jika partai pendukung Jokowi merasa tak nyaman jika kedatangan personel baru. Sebab, merekalah yang sejak awal berada di belakang Jokowi.

Bisa jadi muncul kekhawatiran bahwa jika ada partai oposisi yang bergabung, akan berpengaruh pada pembagian posisi strategis.

Tak hanya itu, kata Arya, sejak awal Jokowi dan Prabowo membawa visi dan misi yang berbeda dalam mengelola pemerintahan. Program tersebut pun sudah dirancang matang sejak jauh hari.

"Risiko politik kalau menerima partai baru di koalisi jauh lebih besar ketimbang dia tetap mempertahankan koalisi lama," kata Arya.

Arya menilai, tak ada kebutuhan khusus yang mendesak Jokowi untuk menggemukkan koalisinya.

Koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin telah memegang 60 persen kekuatan sehingga relatif aman. Justru, menurut Arya, koalisi gemuk memiliki risiko yang kurang baik, pun tak berpengaruh besar dalam hal kinerja legislasi pemerintah.

Sebagai contoh, dalam lima tahun pemerintahan Jokowi, ada 52 rancangan undang-undang yang diusulkan pemerintah dalam program legislasi nasional. Sementara yang disahkan DPR hanya enam RUU.

Itu pun tiga di antaranya merupakan RUU yang dibahas sejak periode pemerintahan sebelummya.

Semestinya, kata Arya, dengan koalisi dominan di parlemen, partai koalisi Jokowi lebih punya kekuatan untuk merealisasikan RUU yang diajukan pemerintah.

"Mestinya kalau dukungan parlemen tinggi, pemerintah akan mudah mendorong kebijakan atau RUU tertentu. Artinya, koalisinya tidak efektif men-support RUU pemerintah," kata Arya.

https://nasional.kompas.com/read/2019/07/25/15081371/pengamat-menambah-porsi-koalisi-akan-menjadi-beban-bagi-jokowi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke