Sebab, kata Rudiantara, kebanyakan pihak yang menuntut menggunakan Undang-undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) biasanya mendalilkan tuntutannya pada Pasal 27 Ayat 3 tentang pencemaran nama baik.
"Ini memang agak unik. Biasanya kasus yang terjadi itu lebih dari 100 yang kaitan dengan Undang-undang ITE. Kebanyakan 27 ayat 3 berkaitan dengan pencemaran nama baik. Kalau ini kan 27 ayat 1," kata Rudiantara saat ditemui di Hotel Sahid, Jakarta, Minggu (25/11/2018).
Rudiantara menambahkan, dari sekitar 100 kasus yang terkait dengan Undang-undang ITE, hanya dua hingga tiga kasus yang mendalilkan tuntutannya pada Pasal 27 Ayat 1 tentang kesusilaan.
Pasal tersebut berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Ia menambahkan pemerintah menyerahkan sepenuhnya kasus tersebut pada proses hukum.
Rudiantara mengatakan sikap yang diambil Presiden Joko Widodo terkait kasus tersebut sudah tepat, yakni mendahulukan Peninjauan Kembali.
"Bapak Presiden juga kan sudah memberikan ruang. Artinya ya silakan diproses untuk upaya hukum luar biasa yaitu nanti PK. Itu dari sisi hukum. Biar lah proses hukum berjalan. Karena kan pemerintah juga tidak bisa intervensi. Itu kan yudikatif," ujar Rudiantara.
Baiq Nuril merupakan mantan pegawai honorer di bagian tata usaha SMU 7 Mataram, NTB.
Pengadilan Negeri Kota Mataram memvonis Baiq tidak bersalah atas kasus penyebaran rekaman telepon kepala sekolahnya yang bermuatan asusila.
Jaksa penuntut umum kemudian mengajukan kasasi ke MA. Rupanya, MA memvonis sebaliknya, yakni memvonisnya bersalah dengan hukuman kurungan selama enam bulan dan denda Rp 500 juta.
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/25/22122851/menkominfo-nilai-kasus-baiq-nuril-unik