JAKARTA, KOMPAS.com – Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, sidang etik terhadap seseorang dapat tetap dilakukan meskipun belum ada putusan hukum dalam kasus yang menjeratnya.
Menurut Refly, persoalan hukum berbeda dengan persoalan etik.
“Sidang etik bisa mendahului sidang pidananya. Bisa saja. Kalau nanti diberi sanksi etik dan di kemudian hari sanksi pidananya tidak jadi diberikan karena yang bersangkutan dibebaskan, hal tersebut tidak berarti kemudian sidang etik clear,” kata Refly, saat menyampaikan pendapat pada rapat Badan Kehormatan DPD, Senin (19/9/2016).
Rapat ini digelar menindaklanjuti penetapan status tersangka terhadap Ketua DPD Irman Gusman oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Irman terjaring operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK, Sabtu (17/9/2016) dini hari.
Ia diduga menerima suap terkait rekomendasi impor gula.
Refly menilai, Irman telah melakukan pelanggaran etika berat jika terbukti menerima uang sebagaimana disangkakan KPK.
Dalam operasi tersebut, KPK juga mengamankan uang sebesar Rp 100 juta yang diduga diberikan oleh Direktur CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto, kepada Irman di dalam bungkus plastik putih.
“Apalagi dalam situasi OTT yang kita tahu selama ini track record KPK bisa dikatakan 100 persen belum ada yang dinyatakan bebas. Kalau betul, sanksi etik bisa dijatuhkan terlebih dahulu tanpa harus menunggu proses pidana yang sedang berlangsung,” ujarnya.
Lebih jauh, Refly berpendapat, sanksi etik juga dapat dijatuhkan meski Irman nantinya akan mengajukan praperadilan atas penetapannya sebagai tersangka.
Menurut dia, penetapan tersangka hanya persoalan prosedur, bukan substansi perkara itu sendiri.
“Itu tidak menjawab apakah tersangka melakukan pidana suap atau tidak,” kata Refly.