MENTERI Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, dengan luapan kepercayaan diri menyatakan di sidang Mahkamah Konstitusi, "Terlalu mustahil kalau hanya seratus kunjungan untuk secara simbolik membagi bansos (bantuan sosial), kemudian itu berpengaruh secara nasional. Itu saya kira doesn’t make sense."
Simpulan Menko PMK itu naif.
Alasannya, pertama, rekayasa sosial (social engineering) pada banyak hal memanfaatkan mekanisme vicarious learning. Istilah vicarious learning menunjuk pada kemampuan manusia untuk belajar lewat pengamatan, bukan lewat pengalaman langsung.
Contoh, pemerkosa dirajam di muka umum agar orang-orang bisa merasa kesakitan dan kengerian sehingga tidak meniru perbuatan jahat yang sama.
Lainnya, sejumlah polisi memperoleh Hoegeng Award dengan maksud agar polisi-polisi lain terinspirasi sehingga meniru kebaikan serupa dan--lebih penting lagi--kepercayaan publik pada polisi bisa terbangun.
Sebagai kementerian yang menggawangi revolusi mental, semestinya Menko PMK paham akan mekanisme vicarious learning untuk memengaruhi mental masyarakat.
Walaupun bansos Presiden Jokowi dan beberapa menterinya diberikan "hanya" kepada ribuan orang, namun lewat kabar dari mulut ke mulut serta dengan mengerahkan ekspos media konvensional dan media sosial secara masif, berjuta-juta orang Indonesia akan terpengaruh pilihan politiknya.
Demikian pula, ketika Jokowi dianggap mendatangkan kesenangan lewat banjir bansos, masyarakat pun akan mengasosiasikan kebaikan itu ke figur-figur yang memiliki kemiripan atau satu kubu dengan Jokowi.
Kedua, praktik bagi-bagi bansos merupakan penerapan Pork Barrel Theory. Bagaimana efek gentong babi (pork barrel) terhadap keputusan politik masyarakat, ditentukan antara lain oleh waktu penyerahan bansos.
Pork barrel terbukti berpengaruh positif ketika digelontorkan menjelang hari pencoblosan.
Juga, ini sangat relevan: ayo kita fokus pada hasil studi di negara-negara, misal, Slovakia dan Czech. Keduanya bukan negara sembarang negara. Kebetulan dua negara Eropa Timur itu memiliki kemiripam dengan Indonesia, yakni negara yang marak akan korupsi.
Di negara-negara korup tersebut, terbukti tiga hipotesis.
Hipotesis kepercayaan: ketika masyarakat memperoleh keuntungan dari gentong babi, mereka akan percaya pada pembuat kebijakan (pemberi gentong) betapapun sumber daya gentong itu dibagikan secara tidak wajar.
Hipotesis kesediaan untuk memilih: ketika masyarakat diuntungkan oleh "hujan duit", mereka akan memilih atau mencoblos si pengucur duit kendati duit itu dikucurkan secara tidak patut.
Hipotesis dukungan kebijakan: masyarakat akan tetap mendukung kebijakan yang dibuat secara tidak fair sepanjang mereka diuntungkan oleh kebijakan yang tidak bijak itu.