JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) mempertanyakan proses seleksi pegawai negeri yang dipekerjakan (PNYD) masuk ke lembaga antirasuah.
Anggota Dewas KPK Albertina Ho mengaku pihaknya mempersoalkan proses seleksi itu karena banyak dari pegawai KPK yang terseret kasus pungutan liar (Pungli) di rumah tahanan (Rutan) KPK, merupakan PNYD dari lembaga lain.
Adapun PNYD merupakan PNS dari instansi lain seperti Polri dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
"Itu yang saya tanya juga, kenapa hasil tes seperti itu," ujar Albertina kepada wartawan, Kamis (28/3/2024).
Baca juga: Anggota Polri Terlibat Pungli di Rutan KPK, Dijatuhi Sanksi Berat oleh Dewas
Keberadaan PNYD dari instansi lain di KPK belakangan menjadi sorotan karena dianggap membawa "penyakit".
Sejumlah kasus pegawai KPK yang menjurus ke tindak pidana korupsi dilakukan oleh PNYD seperti dari Polri dan Kemenkumham.
Albertina menuturkan, pihaknya tidak bisa melarang KPK mengambil PNYD dari instansi lain. Wewenang itu ada pada pimpinan lembaga antirasuah.
"Dewas hanya sebatas memberikan rekomendasi, memberikan saran kepada pimpinan," ujar Albertina.
Mantan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu mengaku pihaknya telah meminta pimpinan KPK memperketat pengawasan internal.
Baca juga: Sekjen KPK Akan Tentukan Sanksi untuk 76 PNS yang Terlibat Pungli di Rutan
Salah satunya dengan pengawasan melekat dari pimpinan hingga struktur di bawah.
Pihaknya juga berharap dalam waktu ke depan seleksi untuk menjadi Insan KPK lebih ketat.
"Mungkin supaya menyaring yang masuk di sini betul-betul yang punya integritas yang tinggi," tutur Albertina.
Sebagai informasi, kasus pungli di Rutan KPK pertama kali diungkap oleh Dewas. Dugaan praktik korupsi itu sudah terjadi sejak sekitar 2018 hingga 2023.
KPK kemudian mengusut kasus itu dari tiga sisi yakni etik oleh Dewas, pidana oleh Kedeputian Penindakan dan Eksekusi, dan disiplin oleh Sekretariat Jenderal (Setjen).
Dalam perkara etiknya, Dewas telah menyidangkan 93 pegawai. Sebanyak 81 di antaranya dihukjm sanksi etik berat.