KOMPAS.com - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) Fahira Idris mengungkapkan, acara Sarasehan DPD RI Bersama Calon Presiden (Capres) 2024 penting digelar.
Menurutnya, acara tersebut dapat mengukur dan menguji gagasan dan komitmen para capres terhadap otonomi yang merupakan salah satu instrumen kemajuan daerah.
“Para capres harus paham bahwa saat ini otonomi daerah diterapkan setengah hati," ungkapnya dalam siaran pers, Sabtu (3/1/2024).
Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab sudah diimplementasikan di Indonesia sejak dua dekade lalu melalui Undang-Undang (UU) 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Namun, otonomi daerah dalam praktiknya mengalami dinamika jika tidak ingin disebut mengalami kemunduran.
Baca juga: Soal Bayar Kuliah Pakai Pinjol, Fahira Idris: Pendidikan Belum Dipandang Sebagai Investasi
Fahira menyebutkan, UU produk DPR dan pemerintah selama beberapa tahun belakangan terang-terangan tidak mencerminkan adanya dukungan penguatan otonomi daerah, bahkan terkesan mengurangi porsi kewenangan daerah.
Dia mencontohkan, otonomi daerah mengalami penyusutan, terutama setelah adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja dan UU Minerba.
Dia menilai, kedua UU tersebut menarik sejumlah kewenangan daerah yang menjadi bagian dari otonomi daerah kembali ke pemerintah pusat atau pemerintah provinsi.
“UU ini menempatkan posisi pemerintah daerah (pemda) sebagai badan atau pejabat yang menjalankan kewenangan delegatif presiden,” katanya.
Padahal, jelas Fahira, pemda sesuai prinsip otonomi daerah merupakan penyelenggara pemerintahan di daerah otonom.
Baca juga: Fahira Idris Dorong Kepulauan Seribu Jadi Sentra Produksi Ikan Kerapu Nasional
Anggota DPD Daerah Pemilihan (Dapil) Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta itu mengatakan, UU Cipta Kerja mengubah secara mendasar pemahaman terhadap urusan pemerintahan konkuren atau urusan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah.
Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Selain itu, kata dia, UU Cipta Kerja mensyaratkan bahwa hal-hal yang diatur dalam peraturan daerah (perda) harus disesuaikan dengan intensi dari UU tersebut.
Situasi serupa berlaku pada UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba yang memuat ketentuan-ketentuan baru terkait pemindahan perizinan dan pengawasan dari pemda kepada pusat.
Hal tersebut bisa menimbulkan risiko hilangnya pendapatan daerah dan juga timbulnya kerusakan lingkungan akibat hilangnya pengawasan pemda dalam kegiatan pertambangan.
Baca juga: Fahira Idris: Anak Muda Pilih Pemimpin dengan Gagasan, Bukan Gimmick