BALIKPAPAN, KOMPAS.com - Calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo, menilai bahwa pedagang kedelai dan pengrajin tahu-tempe harus lebih banyak diperhatikan.
Ia menyebut bahwa Indonesia menghadapi persoalan serius terkait ketersediaan kedelai.
"Kedelai kita punya problem yang serius karena memang produktivitas kita kurang," kata Ganjar kepada wartawan setelah berdialog dan berkunjung ke Pasar Baru Klandasan Ilir, Balikpapan, Kalimantan Timur, Selasa (5/12/2023).
"Minimal kalau kita harus melakukan impor ya tidak terlalu banyak," ucapnya.
Baca juga: Tak Naikkan Harga Tempe meski Kacang Kedelai Mahal, Pedagang: Enggak Ada yang Beli
Dalam lawatannya ke Pasar Baru, Ganjar sempat berdialog dengan Jazuli, seorang pedagang tempe asal Pekalongan, Jawa Tengah.
Jazuli sempat mengusulkan jika Ganjar terpilih sebagai presiden, ia berani untuk melakukan intervensi atas impor kedelai.
Impor yang terlalu bebas terhadap kedelai, kata dia, menyebabkan harga melambung sebab tidak ada ketentuan batas atas harga.
Ganjar mengakui pemerintah seharusnya melakukan intervensi.
"Agar mereka yang membuat tahu tempe bisa mendapatkan perhatian khusus," kata dia.
Baca juga: Ditanya Bagaimana jika Dikritik, Ganjar: Jangan Baperan
Indonesia tercatat menjadi salah satu negara yang doyan impor komoditas kedelai.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang tahun 2022 mencapai 2,32 juta ton atau senilai 1,63 miliar dollar AS.
Rata-rata impor kedelai Indonesia per tahunya mencapai 2 juta-2,5 juta ton.
Dari total volume impor itu, sekitar 70 persen di antaranya dialokasikan untuk produksi tempe, 25 persen untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lain.
Deputi III Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Andriko Noto Susanto mengakui petani enggan menanam bahan baku tempe ini karena beberapa faktor.
Salah satu penyebabnya adalah karena harganya tidak sekompetitif dengan komoditas pangan lainnya seperti padi, cabai, bawang merah hingga jagung.
“Yang jadi penyebab kedelai tidak berkembang di Indonesia adalah harganya yang tidak kompetitif dibandingkan kalau dia nanam jagung atau padi. Misalnya semua ditanam satu hektaran, itu harganya kalah jadi makanya petani sangat rasional dan lebih memilih menanam padi dan jagung,” ujarnya kepada media di Jakarta, Rabu (22/11/2023).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.