MENJADI politisi adalah menjadi ‘binatang politik’ (political animal/zoon politicon), demikian kata filosof fenomenal asal Yunani, Aristoteles.
Mengapa? Karena, yang membedakan binatang dengan manusia, salah satu yang utama, adalah politik. Binatang tak berpolitik, sementara manusia justru sebaliknya. Karena itulah lahir istilah binatang politik tersebut.
Memang bunyinya sangat tidak enak didengar, bahkan boleh jadi menjijikkan. Namun saya rasa, setelah kita memahami maksud atau raison de'tre-nya, cukup masuk akal terminologi tersebut disematkan kepada para politisi.
Setidaknya dari perspektif idealitas teoritik, melalui jalur politik, para politisi memperjuangkan hal-hal yang mereka anggap mulia sekaligus yang menjadi tujuan besar semua lapisan rakyat yang diwakilinya, seperti keadilan, kesejahteraan, keamanan ataupun kebahagiaan bersama.
Dalam proses perjuangan tersebut, manusia bisa melakukan apa saja agar semakin dekat dengan tujuannya. Mulai dari menggandeng sesama manusia yang memiliki tujuannya yang sama, lalu meninggalkannya di jalan setelah tak dibutuhkan lagi.
Atau menjatuhkan orang-orang yang kemungkinan akan mempersulit tercapainya tujuan tersebut, atau pula dengan mengubah aturan-aturan main yang dianggap kurang produktif atas tercapainya tujuan, dan lain sebagainya. Semuanya biasanya dilakukan oleh manusia dalam rangka berpolitik.
Dalam beberapa kajian, karena faktor perkembangan politik yang kian pragmatis, politik didefinisikan secara agak negatif pragmatis.
Sebut saja pengertian politik dari pakar politik Harold Laswell, misalnya. Beliau memberi makna praktis pada politik hanya sebatas soal "siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana (who gets what, when, and how).
Sebagian lagi, generasi awal penganut mazhab behavioralisme, seperti pakar politik dari University of Chicago , David Easton, memaknai politik dalam kerangka yang lebih fungsional.
Beliau menyebut politik sebagai segala upaya untuk mendistribusikan nilai-nilai (kesejahteraan, keadilan, kemaslahatan, dan lain-lain) secara otoritatif.
Entah bagaimana cara kita memandangnya, jika kita bertanya kepada para politisi di partai politik atau parlemen, misalnya, politik bagi mereka adalah tentang bagaimana agar partainya menang pada pemilihan selanjutnya dan menempatkan sebanyak-banyaknya wakil di kursi-kursi yang ada di parlemen.
Dan hasil termanis selanjutnya bagi mereka adalah bahwa mereka berhasil menjadikan politisi andalannya sebagai presiden atau menteri-menteri dalam kabinet.
Lantas, setelah itu, apakah mereka akan melakukan pendistribusian nilai-nilai tersebut? Saya kira, hal tersebut akan jadi topik lainnya, tentu dengan catatan, jika mereka masih ingat.
Berbeda kasus, misalnya, saat kita bertanya pada para politisi di Palestina atau para politisi pejuang di era prakemerdekaan Indonesia.
Bagi mereka, politik adalah jalan menuju pembebasan. Bebas dari penjajahan, bebas dari kolonialisme dan aneksasi negara lain atas negara mereka.
Begitu pula jika kita tanya kepada politisi-politisi Papua pro Indonesia, misalnya. Bagi mereka, politik adalah membesarkan Indonesia di negeri Papua, agar kehadiran negara Republik Indonesia bisa dirasakan oleh segenap masyarakat ‘Bumi Cenderawasih’ Papua.
Pada kedua contoh terakhir, sangat jelas terlihat siapa dan apa yang sedang mereka perjuangkan.
Kemudian pertanyaannya, bagaimana dengan politisi-politisi Indonesia saat ini? Lebih spesifik lagi, bagaimana dengan capres-cawapres kita yang akan berlaga pada Pemilu 2024 nanti?
Bagaimana dengan "constitutional dan political engineering" yang dilakukan oleh salah satu kubu pasangan capres-cawapres baru-baru ini?
Cukup disayangkan memang, dunia perpolitikan kita agak kurang ideal penampakannya. Saat ini, kontestasi untuk posisi presiden, misalnya, sudah dimulai dengan intrik politik ‘kacangan’, yang kental dengan pertimbangan pragmatis di satu sisi dan minus spirit kenegarawanan di sisi lain.