Banyak yang berargumen untuk menanggapi pernyataan saya tersebut dengan mengatakan bahwa anak Presiden Rodrigo Duterte di Filipina adalah preseden dan referensi yang bisa dijadikan pembenaran atas apa yang telah dilakukan Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto dalam mendorong Gibran secara cepat ke panggung politik nasional.
Namun perbandingan tersebut perlu dilihat secara mendalam dan detail, agar tidak terjebak ke dalam perbandingan yang sifatnya "pukul rata" tanpa tedeng aling-aling. Salah satu contohnya adalah bahwa Duterte tidak memulainya dengan grasah-grusuh wacana tiga periode.
Lalu, di sana tidak ada rekayasa konstitusional yang dilakukan secara cepat dan sistematis, yang menjadi prasyarat agar putri Duterte bisa maju sebagai bakal calon wakil presiden.
Yang lebih penting, tidak ada anak Duterte lainnya yang melalui karier politik secepat kilat untuk menjadi ketua umum parpol, yang akhirnya juga digunakan untuk mendukung pencalonan kakaknya.
Pun yang tidak kalah krusial adalah bahwa demokrasi di Filipina tidak lebih baik dari Indonesia.
Politik keluarga sudah sedari dulu eksis di sana, berbarengan dengan relasi patron-klien antara penguasa di Istana Malacañang di Manila; istana kepresidenan yang bergaya bahay na bato dan neoklasik yang merupakan kediaman resmi Presiden, dengan jejaring penguasa lokal di seluruh Filipina, yang menjadi salah satu penyebab utama mengapa sistem politik demokratis semakin sulit untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan ekonomi di Filipina.
Jadi dalam hemat saya, agak kurang tepat menjadikan Rodrigo Duterte dan anaknya Sara Duterte-Carpio, misalnya, sebagai pembenaran.
Karena dengan kualitas demokrasi yang sejatinya berada di bawah Indonesia, Duterta tidak melakukan rekayasa atas institusi demokrasi yang ada dan utak-atik konstitusi dalam waktu cepat untuk kepentingan politik dirinya dan keluarganya.
Apalagi, dari sisi track record pribadi, anak Duterte nampaknya cukup layak untuk dicalonkan sebagai bakal calon wakil presiden kala itu mendampingi calon presiden yang adalah putra mantan Presiden Ferdinand Marcos, yaitu Ferdinand "Bongbong" Romualdez Marcos Jr.
Seperti ayahnya, Sara Duterte-Caprio sempat menjadi pengacara sebelum terjun ke dunia politik pada 2007.
Sara yang digembleng ayahnya sebagai pengacara, pertama kali tancap gas di jalur politik ketika terpilih menjadi wakil wali kota Davao, mendampingi ayahnya yang kala itu menjabat sebagai wali kota Davao.
Namun kemudian, Sara Duterte-Caprio melanjutkan kariernya di kancah politik pada 2010, saat ia menggantikan ayahnya menjadi wali kota perempuan pertama di Davao.
Pendek kata, kembali ke masalah diktum kekuasaan di atas sebenarnya berlaku untuk semua umur. Tidak hanya untuk anak muda, tapi juga untuk semuanya.
Karena pada dasarnya, sebagaimana diingatkan oleh Sejarawan Inggris Lord Action, bahwa "power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely".
Dengan kata lain, jika sebelum berkuasa saja rekayasa-rekayasa dan intrik-intrik politiknya sudah seperti itu, apalagi jika sudah berkuasa alias sudah menjadi dwi tunggal penguasa.
Sinyal-sinyal politik yang mengindikasikan prospek kurang baik pada masa depan demokrasi kita tentu perlu sama-sama dicegah keberlanjutannya secara bersama-sama dengan niat demi kepentingan masa depan bangsa.
Para elite dan berbagai elemen masyarakat tentunya perlu melakukan komunikasi secara baik dengan pemerintah dalam rangka menyampaikan pesan agar tidak terjadi "misuses of power", agar tidak terjadi keberpihakan secara terangan-terangan dari kekuasaan yang sedang berkuasa kepada salah satu kandidat, dan agar netralitas aparat pemerintahan juga bisa tetap terjaga. Semoga!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.