Bahkan, semangat penguasa dan salah satu pasangan capres-cawapres yang didukung penguasa sudah masuk kategori terlalu ambisius, yakni ingin memastikan diri menjadi pemenang, jika perlu sekali putaran, jauh hari sebelum kontestasi dimulai.
Ambisi yang berlebihan tersebut mulai terlihat dari obrolan dan temuan banyak kalangan di ruang publik. Demikian pula dengan obrolan di media sosial terkait penggunaan beberapa institusi negara dalam mengekang gerakan politik lawan, seperti penggunaan institusi pemerintahan untuk membersihkan alat peraga lawan.
Bahkan untuk beberapa kasus, sudah hampir mirip intimidasi politik, seperti yang dialami DPC PDIP Solo belum lama ini.
Namun hal tersebut nampaknya hanyalah kelanjutan dari rekayasa politik di level atas, dengan menggunakan beberapa hakim Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meloloskan pasal yang menguntungkan kepentingan politik salah satu kandidat.
Faktanya sudah tak bisa dibantah lagi, karena Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang dijadikan tameng politik hukum penguasa nyatanya pada akhirnya diputus telah melakukan kesalahan etis fatal oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), tapi tidak membatalkan putusan yang telah dikeluarkan oleh MK sebelumnya.
Dan jika dilihat lebih jauh ke belakang, putusan MK yang menguntungkan anak presiden dan bakal capres Prabowo Subianto adalah buah minimalis dari berbagai upaya ‘pembusukan’ institusi demokrasi yang sudah dilakukan penguasa dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, yakni munculnya wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Beruntungnya, publik Indonesia masih memiliki kesadaran demokratis yang cukup tinggi untuk menolaknya.
Berlatar upaya-upaya politik naif di atas, nampaknya proyeksi demokrasi kita ke depan akan semakin suram. Karena itu publik dan masyarakat sipil harus mulai banyak melibatkan diri di dalam mengawasi praktik-praktik politik yang sedang berlangsung, agar tidak terlalu jauh melenceng dari idealitas demokrasi yang kita harapkan.
Sebagai ilustrasi sederhana, mari kita asumsikan jika Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka menang, misalnya. Lalu Prabowo akan berkuasa selama lima tahun ke depan.
Karena faktor umur, misalnya, Gibran kemudian maju sebagai calon presiden 2029, dengan dukungan penuh dari kekuasaan presiden yang sedang berkuasa, yakni Prabowo Subianto.
Dengan kata lain, diperkirakan nanti Prabowo juga akan memainkan kartu yang persis sama dengan Presiden Jokowi hari ini, untuk memenangkan Gibran.
Lalu jika Gibran menang, maka diasumsikan 10 tahun lagi setelah 2029 nanti dinasti Jokowi akan tetap berkuasa, setelah lima tahun sebelumnya juga berkuasa dalam kapasitas sebagai wakil presiden dari Prabowo Subianto.
Pun selanjutnya diasumsikan bahwa di tengah jalan saat Gibran berkuasa, ada putra Presiden lainnya Kaesang Pangarep dan sang menantu Bobby Nasution yang sudah antre di barisan penerus Gibran.
Lagi-lagi diasumsikan bahwa keduanya bisa membuat komitmen untuk berbagi waktu berkuasa, misalnya Bobby untuk 5 tahun, lalu setelah itu Kaesang 10 tahun selanjutnya.
Maka lengkap sudah, keluarga Jokowi akan bisa berkuasa lebih lama dibanding dinasti Presiden Soeharto di Indonesia.
Inilah ilustrasi proyeksinya ke depan jika pemilihan presiden kali ini semata-mata dihitung secara elektoral dan melupakan moralitas kenegarawanan seorang pemimpin.
Spirit bagi-bagi kuasa akan menjadi motivasi utama dalam merebut dan mempertahankan singgasana di Istana. Silahkan dibayangkan sendiri.
Padahal, selain urusan elektoral, kita berharap bahwa seorang presiden yang sedang menjabat, lalu seorang bakal calon presiden dan seorang bakal wakil presiden yang akan berlaga, bukan hanya seorang politisi handal dan licin, tapi juga seorang negarawan yang menempatkan konstitusi di dalam hatinya dan memperjuangkan kepentingan publik di dalam tindakan dan kebijakannya.
Oleh karena itu, tugas kita saat ini adalah bagaimana caranya agar harapan itu bisa tetap dijaga dengan baik alias tidak pelan-pelan berubah menjadi mimpi, mimpi yang hanya bisa diraih jika kita semua tertidur lelap.
Sebagaimana pernah saya ingatkan di artikel terdahulu, kekuasaan memang berpeluang menjadi sangat berbahaya jika dipegang oleh anak muda yang kurang bijak, kurang pengalaman, dan kurang memahami nilai-nilai kenegarawanan.