JAKARTA, KOMPAS.com - Sosok Anwar Usman tengah menjadi sorotan. Oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Anwar dicopot dari jabatan Ketua MK.
Ia terbukti melakukan pelanggaran etik berat dalam penanganan uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).
Seolah belum cukup, kini, ramai-ramai pihak mendesak Anwar untuk mundur dari jabatan hakim konstitusi.
Bukan cuma sekali Anwar diminta meletakkan jabatannya. Anwar pernah didesak mundur setelah menikah dengan adik kandung Presiden Joko Widodo, Idayati, pada Mei 2022.
Banyak pihak khawatir terjadi konflik kepentingan di MK lantaran Anwar menjadi adik ipar presiden yang tengah menjabat.
“Bagaimanapun ketua MK akan menyidangkan perkara-perkara yang berkaitan dengan presiden dan kepentingan politik presiden,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, kepada Kompas.com, Selasa (22/3/2023).
“Konflik kepentingan akan muncul karena dalam setiap pengujian undang-undang karena presiden adalah salah satu pihak. Konflik ini harus dijauhi Ketua MK agar lembaga peradilan itu tetap punya marwah,” ujar dia.
Baca juga: Gara-gara Syarat Capres-Cawapres, Kandas Kursi Ketua MK Anwar Usman hingga 2028
Namun, Anwar enggan mundur. Ia justru berulang kali menyatakan bahwa pernikahannya dengan adik Jokowi bukan karena alasan politik.
"Apa yang saya cari? Kadang-kadang saya ngomong, untuk apa? Pak Jokowi juga tidak bisa lagi ikut Pilpres 2024, sudah dua periode," kata Anwar, Juni 2022.
Bahkan, Anwar mengaku, saat berkenalan pada Oktober 2021, dirinya tak mengetahui status Idayati sebagai adik dari Kepala Negara.
Selang lebih dari setahun setelah polemik itu, Anwar dicopot dari kursi Ketua MK. Pemberhentian Anwar diketuk oleh MKMK dalam sidang pembacaan putusan etik, Selasa (7/11/2023).
“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan ketua Mahkamah Konstitusi kepada hakim terlapor,” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat.
MKMK menyatakan bahwa Anwar terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, serta prinsip kepantasan dan kesopanan.
Buntut pelanggaran ini, Anwar tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.