“Hakim terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan,” tutur Jimly.
Dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi ini mengemuka setelah MK mengabulkan gugatan terkait syarat usia capres-cawapres pada Senin (16/10/2023) lewat putusan yang kontroversial.
Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Putusan ini memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya tiga tahun.
Gibran pun secara aklamasi disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto sejak Minggu (22/10/2023) dan telah didaftarkan sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI, Rabu (25/10/2023).
Anwar sempat membantah dirinya terlibat konflik kepentingan dalam memutus perkara ini, meski pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi yang tak setuju Putusan 90 itu mengungkap bagaimana keterlibatan Anwar mengubah sikap MK dalam waktu pendek.
Namun, klaim Anwar terpatahkan lantaran dalam putusannya, MKMK menyatakan bahwa adik ipar Jokowi itu telah membuka ruang intervensi dalam menangani perkara uji materi syarat capres-cawapres. Meski begitu, MKMK tidak memerinci bagaimana Anwar Usman membuka ruang diintervensi ini secara sengaja.
“Kita tidak perlu menyebut siapa orangnya, tapi itu ada, dalam arti ya sebenernya sudah jadi semacam praktik di banyak tempat. Praktik dunia hakim harus menyendiri, jangan bergaul dengan pengusaha dan politisi," ujar Jimly Asshiddiqie kepada awak media.
MKMK menyatakan, Anwar bekerja tidak secara imparsial. Buktinya, ia mundur dari penanganan perkara 90/PUU-XXI/2023 kendati mengetahui uji materi tersebut berpotensi konflik kepentingan.
Menurut MKMK, hakim konstitusi seharusnya memiliki kesadaran etik dari nurani masing-masing untuk tak mengadili perkara yang berpotensi memuat konflik kepentingan, atau berpotensi menimbulkan anggapan umum yang sudah dapat diperkirakan soal keberpihakan hakim.
"Saya tidak bisa mengungkapkan, tetapi kita mendapatkan temuan, bahaya ini, membahayakan independensi peradilan," kata Jimly.
Baca juga: MKMK: Anwar Usman Beri Perhatian Lebih Perkara Almas, Rela Ngantor Hari Libur
Pascaputusan MKMK, muncul gelombang desakan agar Anwar Usman mundur dari MK. Deklarator Maklumat Juanda Usman Hamid, misalnya, meminta Anwar mundur karena terbukti memberikan karpet merah kepada keponkanannya sendiri, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju ke panggung Pemilu 2024 lewat putusan MK.
"Karena jelas terbukti melakukan pelanggaran berat maka Anwar Usman harus mengundurkan diri. Itulah yang diamanatkan oleh Reformasi 1998 Tentang etika kehidupan berbangsa," kata Usman kepada Kompas.com, Selasa (7/11/2023).
Sekretaris Tim Pencari Fakta (TPF) Munir ini juga menilai, putusan MKMK semestinya memecat Anwar karena terbukti melakukan pelanggaran etik berat.
"Meskipun kami menghormati putusan MKMK yang menyimpulkan bahwa Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat, kami menilai putusan itu seharusnya diikuti dengan pemberhentian Anwar Usman sebagai Hakim MK," ungkap dia.